Bagi saya, hidup tidak hanya sebuah anugerah, melainkan juga sebuah amanah.
Sejak beberapa tahun lalu, saya membiasakan diri untuk membuat semacam catatan kecil setiap kali saya tiba di tanggal lahir saya. Tidak ada tujuan khusus. Hanya cara sederhana saya untuk mengingat apa saja yang sudah saya alami dan dapatkan. Apa saja yang telah datang ke hidup saya, juga yang pergi.
Bagi saya, penting untuk mengingat dan mencatat hal-hal tersebut. Agar saya tahu bahwa Tuhan masih peduli pada saya. Masih ‘mengurusi’ saya. Barangkali suatu hari nanti saya akan lupa pada apa yang saya ingat dan catat saat ini, seperti juga saya lupa pada hal-hal lain yang sempat saya ingat. Tak masalah. Kita tidak pernah didesain untuk mengingat semua hal selamanya. Pengalaman dan memori senantiasa datang dan pergi seperti udara yang kita hirup dan lepaskan dengan teratur. Yang saya lakukan sebatas menangkap udara tersebut dan mengamatinya. Tersenyum kepadanya. Seraya bersyukur.
Saya mengingat, setahun belakangan, ternyata terjadi hal-hal besar di hidup saya yang sederhana ini. Besar, setidaknya bagi saya. Besar, karena untuk melakukan hal tersebut saya harus melawan segala bentuk kekhawatiran dan ketakutan saya.
· Awal tahun lalu, saya memutuskan untuk bekerja sebagai karyawan. Posisi yang sebelumnya tidak pernah menarik minat saya. Menjadi pekerja kantoran adalah hal terakhir yang ingin saya lakukan untuk mencari penghidupan. Tapi, toh, ternyata saya melakukannya. Seorang kawan baik mengajak saya bergabung sebagai editor di tempat ia bekerja. Saya berpikir beberapa kali dan berdiskusi dengan G tentang ajakan tersebut. Terus terang, saya tidak begitu menyukai kota tempat kantor teman saya itu berlokasi. Oke, mari kita sebut saja. Jakarta. Saya tidak menyukai kota penuh kemacetan itu dan teman saya mengetahuinya. Masalah ini teratasi karena ternyata saya akan ditempatkan di Jogja, tempat saya tinggal kala itu (dan hingga sekarang). Namun, bukan hanya itu, masalahnya adalah saya tidak bisa bekerja di bawah perintah orang lain. Sesungguhnya, saya tidak suka diperintah. Menjadi karyawan berarti saya masuk ke dalam sebuah sistem, sebuah struktur, yang membuat saya berada di bawah orang lain. Namun, saya pikir saya harus mencoba. Saya harus merasakan bagaimana bekerja untuk orang lain. Setelah saya menjalaninya, ada banyak hal yang saya pelajari tentang bekerja dalam sebuah struktur perusahaan. Apa arti kerja tim dan tanggungjawab, bagaimana memahami karakter orang lain sekaligus belajar menghadapinya. Ada banyak yang saya pelajari. Sampai di sebuah titik saya memutuskan untuk…
· Mundur. Saya berhenti dan mengundurkan dari kantor tempat saya bekerja. Bukan, bukan karena pekerjaan saya tidak menyenangkan. Sebaliknya, pekerjaan saya saat itu adalah surga kecil dunia saya. Saya bekerja di bidang yang saya sukai, dengan rekan-rekan yang juga sudah saya anggap sebagai teman dekat, atasan yang amat menyenangkan, dan tugas-tugas yang tidak pernah saya anggap sebagai pekerjaan melainkan kesenangan. Puji Tuhan, gaji saya bagus. Saya bekerja di Jogja yang suasananya kondusif dan mendapat ilmu banyak serta kesempatan networking luas di Jakarta. Apa yang kurang? Tidak ada. Namun, seiring waktu, saya menyadari satu hal: ambisi saya bukan menjadi karyawan, bukan menjadi seorang editor. Akhir 2014, teman-teman penulis sebaya yang saya kagumi karyanya menuai banyak prestasi gemilang. Jujur saja, saya iri. Saya bersyukur dan gembira atas pencapaian mereka sekaligus merasa rendah diri. Delapan tahun menulis, apa yang sudah saya capai? Dibandingkan teman-teman saya itu, mereka lebih cemerlang daripada saya. Saya tahu, nasib karir kepenulisan setiap orang berbeda. Tapi apa yang mereka capai adalah apa yang selama ini saya inginkan. Maka, saya memutuskan untuk mundur sebagai karyawan. Karena untuk mengejar ambisi saya sebagai penulis (saya tidak akan malu mengucapkan ini, ya, saya memang ambisius) saya butuh ruang dan waktu yang luas agar bisa fokus. Saya tidak dapat melakukannya jika pikiran saya terbagi untuk pekerjaan. Akhirnya, saya mengatakannya kepada atasan saya dan minta diizinkan untuk resign. Ketika mereka bertanya apa alasan saya keluar, saya mengatakan apa yang baru saja saya tulis.
· Barangkali ini adalah satu bentuk dari apa yang orang-orang sebut sebagai quarter-life crisis.Meskipun saya tidak merasa krisis-krisis amat. Tetapi setidaknya ada fase dalam hidup saya, di antara usia saya yang ke-25 dan 26, saya sempat merasa bimbang. Itu adalah saat-saat saya mempertimbangkan apakah terus bekerja sebagai orang kantoran dengan risiko kehilangan waktu menulis, atau meneruskan aktivitas menulis saya dengan lebih fokus sembari mengambil risiko kehilangan status karyawan dan gaji bulanan. Apakah menjaga kepastian finansial dan mengorbankan renjana, ataukah mengikuti hasrat renjana dan kehilangan pemasukan rutin. Lewat pertimbangan yang tidak singkat, saya memilih yang terakhir. Saya tidak bisa memilih keduanya. Bagi saya, menulis bukan sesuatu yang bisa dibagi-bagi dengan hal lain. Penulis-penulis lain tetap dapat menulis buku bagus sembari bekerja sebagai karyawan. Saya tidak punya kemampuan itu. Energi saya sedikit dan kemampuan fokus saya tidak dapat dibagi-bagi untuk beberapa hal sekaligus. Maka, begitulah saya mengambil risiko kehilangan pekerjaan yang, puji Tuhan, sangat nyaman. Saya memilih jalan yang tidak nyaman. Jalan yang penuh ketidakpastian. Jalan yang sepi. Jalan kepenulisan.
· Keputusan tersebut tidak serta-merta membuat saya dapat fokus menulis. Tetap saja ada halangan. Ketika saya telah punya banyak waktu dan kesempatan menulis, datanglah setan klasik bernama rasa malas. Di masa-masa seperti ini, kehadiran seorang partner yang tidak pernah bosan mengajak saya berdiskusi dan brainstorming ide-ide apapun sangat membantu. Saya berterima kasih kepadanya. Setiap kali rasa malas mendera, saya mengingat kembali alasan saya cabut dari pekerjaan dan memutuskan untuk hanya menulis. Hikmah lain yang sangat saya syukuri dari melepaskan pekerjaan adalah, saya jadi bisa pulang kampung lebih awal dan menghabiskan waktu bersama keluarga lebih banyak. Tahun ini saya berada di rumah hampir selama sebulan. Waktu bersama keluarga yang lebih panjang dari biasanya membuat saya memiliki kesempatan untuk kembali mengenal ibu, ayah, dan adik saya. Orang-orang terpenting dalam hidup saya yang selama ini jarang saya sentuh karena ketika berada di perantauan saya terlalu sibuk dengan ambisi-ambisi sendiri. Ada fase dalam hidup mereka yang telah luput oleh perhatian saya. Tanpa saya sadari, hal tersebut membuat lubang di dada saya. Saya merasa tidak lengkap. Setelah saya tidak lagi bekerja sebagai karyawan, saya mendapatkan kesempatan berharga untuk menambal lubang itu.
Bagi saya, hidup adalah sebuah anugerah, sekaligus merupakan amanah.
Sebuah anugerah karena saya memiliki kesempatan untuk merasakan cinta dari orang-orang terpenting dalam hidup saya, dan dapat membalas cinta mereka. Sebuah amanah karena merupakan tugas saya untuk melakukan yang terbaik bagi mereka.
Selama seperempat abad, saya selalu berpikir bagaimana caranya memberikan seluruh kemampuan saya untuk memuaskan banyak orang. Saya lupa, itu adalah tindakan yang sia-sia dan melelahkan. Mencari penghargaan, perhatian, dan pujian dari orang-orang banyak membuat saya kehilangan pandangan dari orang-orang yang lebih penting, yang jumlahnya sebenarnya sedikit. Saya melupakan yang sedikit itu. Saya bahkan melupakan diri saya sendiri. Ambisi saya membuat saya mengejar sesuatu yang barangkali tidak akan pernah saya raih.
Di suatu hari di awal Juli, diiringi ucapan selamat dari adik saya dan pacarnya, saya mengucapkan sesuatu dalam hati:
Bahwa saya harus bersyukur untuk hidup saya, bahwa hidup saya adalah sebuah pesan tugas untuk membuat orang-orang yang saya cintai berbahagia, bahwa saya harus bertanggungjawab atas pilihan-pilihan yang telah saya ambil.
Saya berkata kepada diri saya sendiri.
Bahwa hidup bukan perkara menghibur dan membuat senang sebanyak-banyaknya orang yang bahkan tidak pernah saya kenal. Bahwa hidup adalah soal menjaga kebahagiaan mereka yang telah membuat saya bahagia sejak terlahir ke dunia dan merasakan kehidupan. ***