Saya sudah membaca separuh lebih dari jumlah total buku yang ditulis Haruki Murakami. Sangat jarang saya membaca nyaris seluruh buku yang pernah ditulis seseorang. Hal tersebut hanya bisa terjadi jika saya benar-benar menyukai tulisan orang itu. Jadi, bisalah kalau dikatakan bahwa saya sangat menyukai Murakami. Ya, saya tidak sembunyi-sembunyi untuk mengakuinya: saya tergila-gila dengan tulisan Murakami.
Buku terakhir yang saya baca sebelum menulis catatan ini adalah Hard-Boiled Wonderland and the End of the World. Seperti yang biasa saya lakukan setiap sedang membaca buku, saya menceritakan progres membaca saya atas buku ini kepada partner saya, G. Dengan semangat seorang anak kecil, saya menceritakan ulang beberapa bab pertama Hard-Boiled Wonderland and the End of the World ke G, dan dia bertanya: “Itu novel science-fiction?” Saya, dengan tersenyum jail, hanya menggeleng dan menjawab: “Bukan, ini bukan novel science-fiction, bukan pula novel sastra. Ini hanya novel Murakami.”
Saya merespons pertanyaan G dengan jawaban seperti itu karena saya selalu merasa bahwa novel-novel (berikut cerita-cerita pendek) Murakami tidak amat cocok jika dimasukkan ke dalam kategori ‘sastra’, baik itu ‘sastra serius’ maupun ‘sastra populer’.
(Kita akan berdiskusi panjang tentang apa itu ‘sastra’, ‘sastra serius’, dan ‘sastra populer’. Tapi bolehkah kita bersepakat dengan pengertian sederhana yang saya tawarkan: ‘sastra serius’ adalah novel yang ditulis dengan bahasa ‘rumit’ dan kandungan politik yang kental dan eksplisit, lalu ‘sastra populer’ adalah novel yang ditulis dengan bahasa pop dan persoalan-persoalan ‘ringan’ sebagai konflik cerita? Saya menawarkan pengertian macam begini sekadar untuk menjadi landasan argumen saya yang mengatakan bahwa novel-novel Murakami tidak bisa dikategorikan ke novel sastra atau novel fantasi atau novel science-fiction.)
(Tenang saja, saya sendiri tidak sepenuhnya bersepakat dengan tawaran itu)
Jadi begini, mengapa, misalnya saja, Hard-Boiled Wonderland and the End of the World tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori science-fiction, seperti yang diduga oleh G? Padahal, seperti yang saya ceritakan dengan menggebu-gebu ke G, salah satu tokoh di dalam novel tersebut adalah seorang tenaga IT (saya bersemangat karena saya pun mantan mahasiswa IT, walau saya sudah melupakan nyaris seluruh hal yang pernah saya pelajari). Pekerjaan tokoh di novel itu berkaitan dengan pengolahan, penyimpanan, dan rekayasa data. Atau, mengapa novel Kafka on the Shore tidak bisa dimasukkan ke kategori novel fantasi, padahal di dalamnya ada adegan di mana tiba-tiba sekumpulan ikan sarden jatuh dari langit (atau yang paling ikonik dari Murakami: kucing yang mendadak bisa berbicara)?
Sesungguhnya, saya tidak benar-benar tahu jawabannya. Mohon maaf. Saya hanya merasa kurang cocok aja novel-novel Murakami, meski dia mengandung unsur science (atau fantasi) diletakkan di bawah kategori science-fiction atau fantasi. Cukup banyaknya jargon atau deskripsi yang ditulis Murakami yang memberikan nuansa science-fiction di Hard-Boiled Wonderland and the End of the World tidak membuat saya bersepakat untuk meletakkannya di kategori science-fiction.
Yang ingin saya katakan: dengan absurditas dan surealismenya yang ia kemas sedemikian rupa, Murakami sudah membuat saya merasa bahwa buku-bukunya layak dikumpulkan ke dalam satu kategori baru: Novel Murakami. Bukan sastra, fantasi, science-fiction, atau apapun, hanya Novel Murakami.
Merangkai teks dalam format dan konten yang membuat ia menjadi lintas genre tentu bukan perkara mudah. Barangkali Haruki Murakami sendiri tidak berniat untuk melakukannya. Ia hanya menulis menggunakan bahan-bahan yang ia ciduk dari dalam sumur: sangat mungkin ia sendiri pun tidak pernah mengira dan merencanakan bahan-bahan yang akan ia pakai menulis.
Jika kita menulis novel, ada keuntungan lebih dari mengetahui genre novel yang akan kita tulis. Jika kita telah memantapkan hati untuk menulis novel roman, misalnya saja, tentu saja plot utama harus merupakan masalah percintaan, menggunakan konflik cinta platonik sebagai pusat pergerakan cerita. Jika kita ingin membuat novel horor atau kriminal, tentu saja unsur-unsur tertentu semacam teror, misteri, harus dimasukkan. Namun, ternyata ada yang lebih penting dari mengetahui genre, atau bahkan lebih penting dari semua hal yang menyangkut elemen-elemen penuilsan, yakni membuat tulisan yang bagus, terlepas apapun genrenya.
Maksud saya, tentu ada saat-saat ketika kita ingin menulis tapi tidak betul-betul tahu, tulisan kita akan cocok masuk ke genre mana. Kita hanya berangkat dengan sebuah ide kecil dan sederhana. Bahkan, kita tidak tahu akan bergerak atau berkembang ke arah mana ide tersebut. Kita belum menentukan dan tidak dapat memastikan cerita yang kita tulis akan menjadi cerita roman, misteri, science-fiction, horor, atau mungkin bisa jadi cerita kita akan memuat semuanya. Saya ingin mengatakan bahwa hal itu tidak perlu dicemaskan. Dari pengalaman membaca saya yang masih sangat singkat, novel bagus biasanya memuat banyak ‘genre’ di dalamnya.
Saya menulis catatan ini sedikit banyak karena teringat pada pernyataan, yang saat itu saya terjemahkan sebagai keluhan, yang berbunyi kira-kira begini: Aku lagi nulis, tapi nggak tahu ini masuk ke genre apa, sejarah atau romance. Ia berkata bahwa ia menulis tentang kerusuhan yang terjadi puluhan tahun lalu di tempat ia tinggal, tapi ia tidak yakin apakah itu membuat novelnya jadi novel sejarah, karena konflik cinta pun sangat kental di dalamnya. Saya ingat menjawab keluhannya dengan sesuatu yang barangkali tidak amat solutif. Tulis saja, kata saya, tulis sampai selesai.
Saya tidak bilang bahwa menulis cerita dengan menentukan genre terlebih dahulu adalah hal yang keliru. Tentu saja tidak. Menentukan genre dapat membuat kita lebih fokus karena sudah tahu cerita tersebut akan diserahkan ke segmen pembaca yang mana. Namun, ketika kecemasan-kecemasan dan kegelisahan-kegelisahan yang ingin kita tuang dalam tulisan tidak langsung menemukan bentuk atau genrenya, apakah mereka layak ditunda pengerjaannya? Saya akan menggeleng. Pastinya tidak. Lebih utama adalah mewujudkan gagasan, dan tidak jarang gagasan muncul tanpa label genre menempel di tubuhnya.
Mana tahu, dengan menulis novel yang tak terkategorisasi, justru akan membuat novel tersebut mencapai beragam segmen pembaca. Ya, ya, dugaan ini terdengar sangat ambisius dan ceroboh. Lagi-lagi saya tidak bermaksud demikian. Ah, pokoknya kamu paham lah maksud saya. Semoga.
Oh ya, saya ketikkan lagi kutipan dialog saya dengan G di sebuah kedai kopi di Jakarta, saat dengan semangatnya saya menceritakan Hard-Boiled Wonderland and the End of the World. Saya menyukai dialog tersebut karena untuk kali pertama, sepertinya, saya sangat menyukai sebuah novel sampai-sampai tidak tahu novel itu harus digolongkan ke kategori yang mana.
“Hard-Boiled Wonderland and the End of the World itu apa? Science-fiction? Fantasi?” tanya G.
“No,” kata saya sembari tersenyum. “It’s just a Murakami novel.” ***