Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all articles
Browse latest Browse all 402

The Search Warrant, Patrick Modiano

$
0
0




Patrick Modiano adalah novelis berkebangsaan Prancis yang pada usianya ke-69 tahun menjadi peraih Nobel Kesusastraan. "For the art of memory with which he has evoked the most ungraspable human destinies and uncovered the life-world of the occupation,” kata panitia penghargaan Nobel untuk karya-karya Modiano, yang saya baru tahu ternyata ada tak kurang dari 30 novel. Angka yang menurut saya cukup fantastis dan menunjukkan produktivitas Modiano sebagai penulis.

Pernyataan panitia Nobel tadi, terutama penggalan ‘for the art of memory’ adalah kunci untuk memasuki dunia dalam novel Modiano. Memory, bisa kita terjemahkan sebagai kenangan atau ingatan (saya selalu merasa kedua hal tersebut berbeda) menjadi bahan penting yang menggerakkan informasi dalam cerita yang ditulis Modiano. Saya tidak menyebut ‘menggerakkan plot’, karena di The Search Warrant, plot atau alur adalah sesuatu yang samar dan tidak berjejak.

Cerita dibuka dengan keterangan bahwa si narator-yang ternyata adalah penulisnya sendiri, Modiano-suatu ketika di tahun 1988, secara tidak sengaja melihat iklan orang hilang pada sebuah edisi koran Paris Soir tahun 1941. Iklan tersebut menyebutkan bahwa telah hilang seorang gadis bernama Dora Bruder, lengkap dengan ciri-ciri dan pakaian terakhir yang dikenakan sebelum gadis itu hilang. Yang memasang iklan itu di koran adalah orangtua si gadis sendiri.

Iklan tersebut mendorong si narator untuk melakukan pencarian, bukan terhadap keberadaan si gadis tentu saja (karena sudah 47 tahun berlalu sejak edisi koran yang memuat iklan orang hilang itu), melainkan terhadap alasan mengapa gadis itu menghilang. Si narator mendapatkan informasi bahwa gadis itu kabur dari asrama sekolah katolik tempat ia tinggal. Di kemudian hari, si narator menemukan nama gadis tersebut, Dora Bruder, pada sebuah catatan resmi berisi daftar orang-orang Yahudi yang dideportasi dari Paris ke Auschwitz tahun 1942.

Menjadi penulis sekaligus narator dalam kisah yang ia tulis, membuat Modiano tampak seperti sedang tidak menulis novel. Setidaknya demikian yang saya lihat. The Search Warrant (atau dalam versi sebelumnya, Dora Bruder) menjadi semacam memoar nonfiksi tentang pencarian penulisnya terhadap sesosok manusia yang mengalami tragedi besar dalam hidup, sekaligus si penulis menceritakan bagian dari kehidupannya sendiri. Kelak, kita akan mengetahui bahwa novel yang ditulis Modiano berdiri di batas antara realitas dan fiksi, antara memoar dan karangan.

Lewat kupasan demi kupasan ingatan si narator, kita dibawa ke bagian tragedi dari kehidupan manusia, mungkin satu yang tergelap. Tragedi tersebut luput dari catatan sejarah. Terlupakan. Benar bahwa The Search Warrant merupakan salah satu bentuk dan usaha meditasi penulisnya untuk menemukan bagian yang terlupakan itu, mencatatnya, dan mengabarkannya kepada orang-orang yang menurut ia harus tahu. Atau, mungkin saja, ia mencatat ingatan-ingatan tersebut untuk dirinya sendiri.

Hal tersebut bisa dilihat ketika si narator, pada satu titik, menemukan hubungan antara jalan hidup Dora Bruder dan ayahnya sendiri. Ayah si narator (yang berarti adalah ayah Patrick Modiano) juga sempat ditangkap oleh Nazi Jerman dan dijebloskan ke camp. Mungkin, hal ini pula yang sejak awal menyebabkan si narator terdorong untuk mencari jejak dan informasi apapun mengenai Dora Bruder dan kedua orangtuanya. Di banyak bagian dalam cerita, si narator membanding-bandingkan kesulitan-kesulitan yang ia alami semasa kecilnya (kalau saya tidak salah ingat, ia juga pernah nyaris ditangkap Nazi Jerman atas laporan dan tuduhan istri baru ayahnya) dengan Dora Bruder, gadis yang berpuluh tahun kemudian jejaknya ia cari.

Saya sangat beruntung bisa menemukan dan membaca novel Patrick Modiano, karena tampaknya ia adalah penulis peraih Nobel Kesusastraan yang bukunya paling sedikit hadir di rak-rak toko buku, setidaknya yang biasa saya sambangi (Periplus, Kinokuniya, Aksara). Membandingkan dengan Alice Munro, peraih Nobel Kesusastraan sebelumnya, yang mengisi nyaris tiga baris rak sastra Kinokuniya Plaza Senayan. Atau, Gabriel García Márquez, yang sama banyaknya. Saya tidak tahu kenapa bahkan setelah setahun penganugerahaan Nobel Kesusastraan 2014, hanya satu novel Modiano yang muncul di Indonesia. Itu pun bukan ‘karya unggulan’nya (di banyak artikel pasca pengumuman peraih Nobel Kesusastraan 2014, saya lebih sering melihat judul Honeymoon dan The Missing Person).

Saat baru mulai membaca The Search Warrant, saya mengunggah foto buku tersebut di Instagram. Seseorang meninggalkan komentar bahwa dia membaca Honeymoon, namun tidak dapat menyelesaikannya karena bosan. Menurut dia, terjemahannya jelek. Namun, saya menduga, rasa bosan itu bukan muncul karena terjemahan yang jelek (kalau dia membaca versi terjemahan Bahasa Inggris, sih, sepertinya akan baik-baik saja ya. Atau tidak?) melainkan memang gaya tutur Patrick Modiano cenderung membosankan, jika dibaca oleh orang-orang yang menghendaki klimaks dan ketegangan-ketegangan eksplisit.

Dugaan yang sembrono tersebut membawa saya ke pertanyaan lain: Apakah pengarang-pengarang Prancis memang memiliki gaya tutur serupa? Saya baru membaca Antoine de Saint-Exupéry, Albert Camus, dan Patrick Modiano. Pastinya terlalu sedikit untuk menarik kesimpulan. Maka saya hanya menduga-duga. Sebab, saat membaca ‘dongeng’ The Little Prince dan novela The Stranger, saya mendapatkan kesan yang sama seperti saat membaca The Search Warrant: cerita dituturkan dengan landai, tanpa pengaturan ketegangan dan klimaks yang terlihat sangat direncanakan seperti, misalnya saja, novel-novel Dan Brown, atau untuk membandingkannya dengan penulis peraih Nobel Kesusastraan juga, Orhan Pamuk dan Naguib Mahfouz. Cerita-cerita yang ditulis pengarang Prancis (oke, saya lagi-lagi melakukan usaha generalisasi yang ngawur) atau maksud saya, The Search Warrant, terasa seperti sebuah solilokui penulisnya sendiri.

Seperti banyak novel bagus yang saya baca, The Search Warrant tampak tidak begitu peduli dengan aturan-aturan penulisan kreatif. Ia tidak terlihat sadar bahwa di dalam ceritanya ia harus membangun karakter (Modiano berperan sebagai Modiano, Dora Bruder adalah Dora Bruder, orangtua Dora Bruder juga tidak mendapat deksripsi watak yang rinci, seperti sebagaimana aturan penulisan kreatif pada umumnya), menerangkan latar tempat secara eksplisit (memang disebutkan tempat-tempat tapi karena present-time cerita tidak terjelaskan, jadi latar lokasi ini hanya berada dalam tuturan ingatan si narator), mengatur ketegangan-ketegangan hingga klimaks, merangkai dialog-dialog bermutu, dan seterusnya. Meski tanpa kepatuhan pada ‘aturan-aturan’ penulisan semacam itu, The Search Warrant tetap menjadi sebuah novel yang bagus.

Membaca The Search Warrant membuat saya, untuk kali kesekian, menyadari bahwa ada banyak cara menulis novel yang bagus. Pada awalnya, menulis memang merupakan keterampilan, yang di dalam kelas-kelas penulisan kreatif telah diformulasikan langkah-langkah dan tahapan-tahapannya. Bahkan, aturan-aturannya. Namun, teknik adalah sesuatu yang dipelajari untuk dilupakan. Pada akhirnya, insting dan intuisi murni si penulis yang akan menentukan bentuk tulisan yang ia pikir paling baik untuk gagasan-gagasannya. Lebih lagi, visi seorang penulis lah yang mesti dijadikan ‘aturan’ penulisan bagi dirinya sendiri. Visi tersebut adalah bagaimana seharusnya sebuah novel (jika ia seorang novelis) ditulis, bahkan dibaca. ***



Viewing all articles
Browse latest Browse all 402