Perkenalan
Cerpen Bernard Batubara
Dimuat di Koran Tempo, Minggu 15 Februari 2015
Dimuat di Koran Tempo, Minggu 15 Februari 2015
“Kamu harus tahu, Harumi sayang. Pada zaman ketika kekerasan begitu mudah dilakukan, hal terburuk yang bisa dimiliki seseorang adalah identitas.” Bong berkata demikian, tepat satu hari sebelum ia mati mengenaskan. Kepalanya ditemukan terpisah sejauh lima meter dari tubuhnya. Jasadnya tergeletak begitu saja di tengah jalan.
Pertama-tama, saya minta maaf kepada teman-teman semua, karena sudah membuka perkenalan ini dengan adegan yang kurang nyaman. Namun, apa boleh buat, begitulah memang yang saya alami. Maka, begitu pula yang akan saya sampaikan. Perkenalan ini akan singkat saja. Jadi, saya mohon teman-teman tidak pergi dari tempat ini.
Teman-teman semua.
Nama saya Harumi. Saya bukan orang Jepang. Saya akan bercerita tentang kehidupan saya. Namun, mengingat ucapan terakhir Bong, saya akan mengisahkan cuplikan masa lalu saya dengan mengubah seluruh identitas orang-orang yang ada di dalamnya. Mungkin juga identitas tempat-tempat.
Teman-teman silakan duduk dengan baik. Tidak perlu takut. Saya tidak akan berlama-lama. Saya juga merasa aneh bicara dengan suara yang bukan milik saya.
Baik. Untuk mempersingkat waktu, saya akan mulai dengan keluarga saya.
Nama papa saya Tuan Pemegang Kaki. Tentu saja, itu bukan nama asli. Dia suka membaca novel-novel pengarang Jepang terutama yang di dalamnya ada kisah-kisah tentang geisha. Nama mama saya Nyonya Pecah Belah. Dia suka melempari kepala saya dengan piring kaca, gelas kaca, atau sesekali menggunakan sendok nasi.
Tuan Pemegang Kaki memiliki obsesi terhadap geisha. Ia memburu dan mengumpulkan semua novel Jepang yang di dalamnya terdapat tokoh geisha. Pada suatu malamsaat saya berusia 8 tahun, Tuan Pemegang Kaki mengurung saya di kamar dan mendandani saya seperti seorang geisha. Dia memeluk saya dan mencium-cium pipi saya. Lama-lama dia mengelus leher saya dan meraba kaki hingga ke paha saya. Dia berhenti karena pintu kamar digedor keras oleh Nyonya Pecah Belah. Tampaknya Nyonya Pecah Belah merasa ini sudah giliran dia untuk melempari saya dengan gelas kaca baru, bonus dari sabun cuci piring yang dia beli saat belanja pagi tadi.
Tuan Pemegang Kaki membuka pintu sambil menggerutu. Nyonya Pecah Belah setengah berteriak saat melihat wajah saya penuh pupur dan gincu yang merah tebal di bibir saya. Dia berteriak lagi ke wajah Tuan Pemegang Kaki dan menamparnya tidak kurang dari sepuluh kali. Tuan Pemegang Kaki tidak melawan.
Itu bukan yang pertama kalinya.
Teman-teman yang saya sayangi.
Saya tahu saya terdengar dingin saat menceritakan semua ini. Tapi percayalah, pada saat peristiwa itu terjadi, saya merasakan panas yang tiada tara. Apalagi jika teman-teman tahu bahwa kejadian seperti itu tidak hanya berlangsung sekali dalam hidup saya. Melainkan, hmm, tidak terhitung. Mungkin lebih banyak dari gabungan jumlah jari tangan kita yang sedang berada dalam ruang kelas ini.
Satu-satunya hal yang bisa meredakan panas di kepala saya waktu itu adalah seorang laki-laki. Namanya Bong. Saya bertemu dengan Bong karena sebuah kecelakaan. Benar-benar kecelakaan.
Ketika itu, saya sedang menyeberang jalan di depan sekolah. Jalanan terlihat sepi, namun tiba-tiba sebuah sedan hitam melesat ke arah saya dan seketika saja saya tidak sadarkan diri.
Ketika saya siuman, saya melihat Bong di sebelah saya. Dia duduk di kursi. Saya terbaring di ranjang. Waktu itu saya belum tahu namanya Bong. Kami berkenalan setelah dia menjawab raut bingung saya saat melihat ke sekeliling ruangan.
“Kamu lagi di rumah sakit. Mobil yang saya kendarai nabrak kamu. Saya yang bawa kamu ke sini,” kata Bong. Wajah Bong putih dan kepalanya gundul. Bola matanya terlihat licin dan berkilau, seperti permukaan piring keramik hiasan yang biasa Nyonya Pecah Belah lemparkan ke kepala saya setiap subuh dan petang. Bong mengenakan kemeja warna putih. Saya mencium wangi dari tubuhnya. Untuk sesaat, saya merasa seperti berada di dalam hutan hujan, di antara hamparan tanah basah dan pohon-pohon.
“Jangan khawatir, saya akan bertanggungjawab.”
Saya tidak memikirkan Tuan Pemegang Kaki dan Nyonya Pecah Belah, atau meminta bantuan mereka. Karena saya tahu hal itu tidak berguna. Saya melihat punggung tangan saya terpasangi infus. Saya memegangi kepala dan merintih.
“Kata dokter, ada pendarahan di kepala kamu. Tapi kamu akan baik-baik saja. Siapa nama kamu?”
Nama? Siapa nama saya? Kepala saya bagaikan gong dan pertanyaan Bong saat itu terasa seperti pemukul kayu besar yang menghajar kepala saya. Ada bunyi gong yang berulang di dalam kepala saya, dan saya tidak berhasil menemukan apapun yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan Bong, meski pertanyaan itu sangatlah sederhana.
Nama?
Siapa nama saya?
“Kamu tidak bisa ingat?” kata Bong, tampak khawatir.
Siapa nama saya?
Saya melihat ke Bong, masih merasa bingung. Bong menggeleng dan menghela napas panjang. Lalu, dia bicara lagi.
“Saya sempat buka tas kamu tadi, maaf, saya harus cari nomor telepon orangtuamu atau alamat rumahmu. Tapi, saya tidak menemukan apa-apa. Di tas kamu cuma ada buku catatan dan dua buah jeruk. Kamu tidak bawa dompet?”
Dompet? Saya menggeleng. Saya tidak pernah bawa dompet. Saya selalu bawa uang dengan melipat-lipatnya dan menyimpannya di kantong dada seragam sekolah.
“Apa nama kamu Harumi? Saya lihat gantungan kunci dengan huruf-huruf membentuk H-A-R-U-M-I di tas kamu. Tadinya saya ingin panggil kamu Harumi, tapi saya tidak yakin itu nama kamu. Kamu bukan orang Jepang.”
“Bukan,” kata saya.
Bong tertawa kecil. “Untuk sementara, saya panggil kamu Harumi saja. Saya akan coba cari kontak orangtua kamu.”
Saya hanya diam.
“Omong-omong, kamu suka baca novel tidak? Saya pernah baca novel Jepang. Tentang geisha. Ada seorang geisha bernama Harumi di sana. Lucu sekali.”
Saya tidak menjawab, kepala saya masih terasa sakit. Beberapa jam setelahnya, dengan cara yang tidak saya ketahui, Bong menemukan alamat rumah saya. Dia mengantarkan saya pulang setelah kondisi saya cukup membaik.
Teman-teman yang saya cintai.
Saat itu saya berusia 17 tahun, sama seperti teman-teman semua saat ini. Bong tigapuluh tahun di atas saya. Dia punya dua anak. Istrinya sudah meninggal saat melahirkan anak kedua mereka. Bong menceritakan ini ketika kami bertemu pasca minggatnya saya dari rumah.
Dua hari setelah pulang dari rumah sakit, saya membeli tiket pesawat menuju Surabaya, tempat nenek dari Papa. Namanya Nek Mun. Nek Mun baik sekali. Semenjak saya berusia 5 tahun, Nek Mun tinggal di rumah dan mengasuh saya. Nek Mun kembali ke kampungnya di Surabaya ketika saya berusia 15 tahun.
Nek Mun berteriak senang saat melihat saya di muka pintu. Dia memeluk saya sampai menangis. Saya juga ikut-ikutan menangis. Nek Mun bertanya ada apa saya pergi ke Surabaya, bagaimana keadaan Papa dan Mama, dan seterusnya. Saya jawab apa adanya saja.
Setelah mendengar cerita saya, Nek Mun menghela napas berat dan mulai berkisah.
Dahulu, Papa dan Mama baik-baik saja. Yang dimaksud Nek Mun dengan dahulu adalah ketika saya belum lahir. Saya lahir di tahun 1997. Kata Nek Mun Papa dan Mama tampak begitu bahagia ketika melihat saya. Saya hampir-hampir tidak percaya.
Setahun setelah itu, semuanya berubah. Kebahagiaan yang tadinya mengisi setiap sudut rumah, kini menjelma jadi teror tak berkesudahan. Saya masih berusia satu tahun, jadi saya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ini saya ceritakan dari apa yang dikisahkan oleh Nek Mun.
Teman-teman sekalian.
Papa saya, Tuan Pemegang Kaki, adalah laki-laki dari suku X. Sementara mama saya, Nyonya Pecah Belah, adalah perempuan dari suku Y. Tidak pernah ada masalah antara X dan Y sebelum 1997. Tapi setelah 1997, tiba-tiba X dan Y bagaikan air dan minyak. Mustahil menyatukan mereka, dengan cara bagaimanapun.
Nek Mun terus berkisah. Dia memberitahu apa yang dia lihat setelah 1997.
Kampung halaman Tuan Pemegang Kaki dan Nyonya Pecah Belah tidak saja dihuni oleh suku X dan Y, melainkan juga suku A, B, C, dan D. Pada suatu hari, Nek Mun pulang berbelanja sayur-mayur ketika dia melihat rumah orang-orang ditulisi kalimat-kalimat singkat berbunyi: “DI SINI SUKU A”, atau “ORANG SUKU C”. Nek Mun tidak paham apa maksud mereka menulisi dinding-dinding rumah sendiri dengan kalimat-kalimat seperti itu.
Belakangan, baru Nek Mun tahu, mereka melakukannya agar tidak diserang oleh X ataupun Y. Kedua suku itu bertikai karena suatu sebab yang hanya diketahui oleh Tuhan Yang Maha Mengetahui, kata Nek Mun.
Pertikaian kedua suku meruncing hingga tak bisa lebih tajam lagi. Dua belas jam setelah orang-orang mulai menulisi dinding-dinding rumah mereka, Nek Mun melihat Tuan Pemegang Kaki meraung di ruang tamu dan Nyonya Pecah Belah menggerung di dapur. Dua adik kandung Tuan Pemegang Kaki baru saja dikuburkan. Leher keduanya putus ditebas parang. Di pihak Nyonya Pecah Belah, satu korban. Kakak perempuannya tewas dibacok di dada.
Teman-teman yang saya sayangi.
Seperti janji saya, perkenalan ini singkat saja. Mohon maaf jika saya sudah mengganggu teman-teman dan seluruh penghuni sekolah ini. Saya tidak bermaksud demikian. Saya hanya butuh bercerita. Saya ingin menyampaikan hal-hal tadi, juga bahwa Bong, orang saya cintai, telah mati tanpa kepala. Saya sendiri mati setelahnya. Gantung diri di kamar. Saya pikir saat itu, ini cara paling mudah untuk menghampiri Bong.
Sebelum saya gantung diri, saya menerima kabar bahwa Bong ditemukan tergeletak di tengah jalan. Kepalanya terpisah sejauh lima meter dari tubuhnya. Ada yang bilang orang suku X memenggal Bong. Ada juga yang bilang itu perbuatan suku Y. Yang jelas, saya tahu, Bong bukan bagian dari X maupun Y. Ia tidak bersuku. Ia tidak berbangsa. Begitu yang Bong bilang kepada saya.
Teman-teman.
Maaf untuk peristiwa-peristiwa yang belakangan terjadi di sekolah ini. Jangan takut. Peristiwa-peristiwa itu bukan kerasukan. Hanya cara saya berkomunikasi. Seperti teman-teman tahu, saya tidak punya tubuh, meski saya punya pesan.
Saya meminjam tubuh salah satu di antara kalian karena tidak tahan melihat adegan-adegan di masa hidup saya dahulu, kini berulang lagi. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa kekerasan seperti ini sudah pernah terjadi sebelumnya.
Bukankah manusia yang baik adalah manusia yang belajar dari sejarah, terutama yang paling penuh luka? Begitu kata Bong. Saya berharap teman-teman tidak melanjutkan pertempuran yang tidak menghasilkan apa-apa selain darah. Pacar saya sebelum Bong juga senang ikut teman-temannya yang tawuran. Dia berhenti setelah saya berkata kepadanya bahwa saya perempuan, kalau dia ingin darah, saya bisa memberikannya setiap bulan.
Teman-teman, saya akan segera pergi. Jangan khawatir, saya tidak akan kembali lagi dan merasuki siapapun. Saya sudah menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan. Izinkan saya tutup perkenalan ini dengan mengucapkan terima kasih, terutama kepada gadis yang saya rasuki ini. Dia tubuh yang sangat pas dengan ruh saya.
Selamat tinggal.
(2014)