Ilustrasi: Ida Bagus Gede Wiraga
“Bril, aku tidak tahu mengapa aku menceritakan semua ini kepadamu. Aku baru mengenalmu dan kau bahkan bukan manusia.”
“Kau bisa bercerita apa pun, kalau itu membuat perasaanmu lebih ringan.”
Rahayu mengusap air matanya. “Yah…, aku rasa perasaanku sekarang lebih ringan. Bril, terima kasih.”
Sudah kukatakan kepadamu, bahwa Rahayu sangat cantik? Aku ralat, Rahayu bukan cantik, melainkan tidak membosankan. Ada perbedaan yang sangat jelas antara cantik dan tidak membosankan. Gadis-gadis di kampusku cantik (kau bertanya bagaimana cara malaikat kuliah? Tentu saja aku bisa kuliah, ayahku tidak disebut Dewa tanpa sebuah alasan), tapi semua gadis cantik itu membosankan. Semuanya berdandan dengan cara yang sama, mengenakan pakaian yang sama, gaya rambut yang sama, membicarakan hal yang sama, dan mengeluhkan hal yang sama. Membosankan. Rahayu tidak membosankan. Saat bersama Rahayu, entah bagaimana, aku merasa seperti sedang berada di Bumi sekaligus berada di Langit yang Tinggi. Aneh.
Aneh, tetapi menyenangkan.
Aku tidak perlu menceritakan bagian selanjutnya karena akan sangat membosankan bagimu, dan hal terakhir yang diinginkan seorang remaja sepertiku adalah menjadi membosankan bagi orang lain. Jadi, aku akan melewatkan bagian saat aku dan Rahayu jadi sering janjian untuk bertemu, menghabiskan jam-jam dengan berbicara banyak hal (pantai, musik, sejarah, agama, politik, sampai topik favoritku: novel kesukaan kami), dan merasa semakin dekat satu sama lain. Setiap kali kami harus berpisah karena Rahayu tak bisa pulang terlalu larut, yang kukerjakan hanya menghitung waktu untuk bertemu dengannya lagi esok hari. Bahkan, aku lupa dengan rencanaku kembali ke Langit.
Malah, aku memikirkan sesuatu yang lain, yang baru, yang-menurut seorang teman manusiaku-anarkis.
Aku ingin menjadi manusia.
Ya, cepat atau lambat, aku akan kembali ke Langit yang Tinggi. Kalaupun aku tidak berinisiatif untuk kembali, ayahku pasti akan mulai curiga dan mencariku di Bumi, lalu menyuruhku pulang. Intinya, karena aku malaikat, tempatku adalah di Langit. Selama apa pun aku tinggal di Bumi, aku tetap malaikat dan memiliki tugas, dan tugas-tugasku itu tidak bisa kulakukan kalau aku terus-menerus tinggal di Bumi.
Maka, kalau aku ingin terus bersama Rahayu, aku harus berubah menjadi manusia.
“Kamu anarkis, Bril!” kata teman manusiaku. Namanya Jon (sesungguhnya namanya Joko Purnomo, tapi ia tidak suka dengan namanya dan ia menggemari Chris John, maka semenjak itu ia memperkenalkan diri kepada semua orang dengan nama Jon). Kami sedang duduk-duduk di kantin kampus saat aku mengutarakan kenginanku.
“Apa pun sebutannya, Jon, aku ingin jadi manusia. Demi Rahayu.”
“Edan, kamu. Apa kata ayahmu kalau dia tahu kamu ingin jadi manusia? Ah, edan.”
“Aku tidak peduli, Jon. Aku akan terbang ke Langit, lalu memberitahukan sendiri keinginanku kepada Ayah.”
“Wong kenthir. Kalau kamu dihukum dan tak bisa balik lagi ke sini, gimana?”
“Kau tak akan tahu sebelum mencoba.” Aku menyeringai.
Jon menggeleng. Ia sudah paham aku tak bisa dilarang. Semakin diragukan, semakin aku yakin bahwa keinginanku adalah sesuatu yang harus kulaksanakan. Suatu hari nanti, saat aku berkata bahwa aku mencintainya, Rahayu boleh meragukanku, karena setelah itu aku akan semakin yakin untuk mencintainya dan akan membuktikan kepadanya bahwa aku tidak asal bicara. Begitulah seharusnya yang kau lakukan, Teman, saat orang-orang meragukanmu, kau harus tunjukkan kepada mereka bahwa mereka keliru.
Itulah yang kulakukan kepada Jon. Malamnya, aku terbang ke Langit yang Tinggi. Dengan dada membusung, rasa percaya diri yang genap, dan sikap optimistis, aku menghadap Ayah. Aku berlutut di hadapannya yang sedang duduk di singgasana sambil mengunyah anggur biru, lalu aku pun berkata, “Ayah. Aku ingin menjadi manusia.”
Apa kau sudah memperkirakannya? Apa kau sudah memperkirakan bagaimana reaksi ayahku saat melihatku kembali ke langit dan berkata kepadanya sesuatu yang sangat konyol seperti ingin menjadi manusia? Mungkin, kau sudah memperkirakannya. Namun, beginilah reaksi ayahku. Di luar dugaanku, ia tidak marah, tidak melemparku dengan piala berisi anggur putih ataupun mencengkeram tanganku. Tidak. Kau tahu apa yang ayahku lakukan? Ia tertawa.
Ayahku tertawa. Tawanya meledak, mungkin sampai terdengar ke seluruh penjuru langit dan sampai di tempatmu sebagai gelegar petir.
“Apa kau bilang? Ulangi lagi. Apa? Apa? Ayo ulangi lagi. Apa kau bilang?”
“Aku ingin menjadi manusia,” ulangku.
Ia tertawa lagi.
“Bocah! Apa yang kau lihat di Bumi sana, apa yang kau saksikan? Kau lihat kebenaran ucapanku, bukan?” Ia tertawa. “Sekarang kau bilang apa, ingin jadi manusia? Apa yang terjadi dengan kepalamu, terbentur batu kali? Tak pernah kudengar sebelumnya hal yang sangat konyol. Kau dengar itu? Tak pernah.” Lalu, ia tertawa lagi.
“Aku ingin menjadi manusia. Ayah seorang dewa dan tahu banyak hal, tolong beri tahu aku bagaimana caranya,” pintaku.
Kali ini, Ayah tidak tertawa.
“Kau benar-benar ingin jadi manusia? Di antara semua makhluk; kambing, kuda, kupu-kupu, pohon, jerapah, semut, penguin, laba-laba, yang memiliki kemampuan lebih mulia dan lebih indah, kau memilih untuk jadi manusia?”
Aku mengangguk.
“Kalau begitu,” kata Ayah, “kau harus bunuh diri.”
“Maaf? Apa?”
“Kau mendengarku. Kau harus bunuh diri.”
“Bunuh-diri?”
“Bocah, anakku, kau tak berharap ada cara yang mudah untuk mengubah dirimu menjadi sesuatu yang lain, lebih-lebih sesuatu yang seburuk manusia, bukan?”
“Tidak, Ayah, tentu tidak.”
“Berubah adalah hal yang sangat sulit, Anakku.” Tiba-tiba saja, untuk kali pertama dalam hidupnya, ayahku bicara dengan nada yang tidak terlalu membuat kesal. “Kau tahu berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk berubah menjadi seperti yang ibumu mau? Empat musim, anakku, empat musim lamanya yang kubutuhkan untuk berubah menjadi laki-laki yang diinginkan ibumu! Perubahan itu niscaya, kata mereka. Tapi, mereka yang berkata seperti itu tak tahu apa-apa tentang laki-laki yang berusaha mengubah dirinya demi cinta. Kau mungkin bisa berubah, dengan semua upaya keras dan waktu yang banyak, tapi ada hal-hal yang tak bisa diubah. Katakanlah, kau bisa berubah jadi manusia, lalu apa yang akan kau lakukan dengan itu?”
“Aku mencintai seorang gadis, Ayah.”
Aku tak tahu mengapa aku memberitahukan hal itu, mungkin karena suasana yang muncul saat Ayah menceritakan keresahannya. Aku merasa, untuk kali pertama, bisa bicara dengan Ayah.
Ayah tertawa lagi. “Harusnya aku tahu”, katanya. “Ya, harusnya aku tahu. Terserah kau. Aku sudah memberitahukan apa yang ingin kau dengar. Kau lihat, kan, ayahmu ini tidak selamanya jahat seperti yang kau pikirkan. Jangan kira aku tak tahu apa yang kau pikirkan tentang ayahmu, Bocah. Kau tidak menyukaiku. Tapi, dalam hatimu kau tahu semua yang kukatakan benar. Kau jatuh cinta dengan manusia, lalu ingin menjadi manusia? Kau sudah tahu caranya. Kau harus bunuh diri.”
Bunuh diri.
Ayah melanjutkan, sembari meninggalkan singgasananya, lalu berjalan melewatiku, menuju pintu istana. “Tentu saja hanya orang bodoh dan ceroboh yang mau bunuh diri demi cinta.” Lalu, ia pun tertawa.