Tepat pada saat pemilihan umum presiden dan calon presiden pada tanggal 9 Juli lalu, yang juga bersamaan dengan hari ulang tahun saya ke seperempat abad, saya jatuh sakit. Dimulai dengan, saya duga, radang tenggorokan, dan berakhir dengan flu. Tidak sampai demam, tapi cukup mengganggu karena saya jadi tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Saya terpaksa pergi ke rumah sakit (saya jarang sekali ke rumah sakit, untuk beberapa penyakit yang ringan saya lebih memilih untuk membiarkan waktu menyembuhkannya, atau membeli obat di apotek) dan mendapatkan resep empat macam jenis obat. Saya beristirahat di kamar dan malas melihat televisi, seperti biasanya. Satu-satunya hiburan saya adalah berselancar di dunia maya lewat laptop atau ponsel, namun kepala saya segera sakit kalau lama-lama melihat monitor. Akhirnya, untuk melewatkan waktu sendiri di kamar, saya membaca buku.
Karena merasa sedang tidak punya energi untuk membaca yang panjang-panjang, saya mengeluarkan novel dan kumpulan cerita pendek dari daftar buku yang ingin saya baca ketika sakit. Saya ingin membaca sesuatu yang singkat-singkat saja, yang tidak perlu memikirkan plot, menduga-duga twist atau letak kejutan di cerita, memikirkan motivasi tokoh, atau mengikuti kisah yang panjang. Atas pertimbangan dan kriteria-kriteria tersebut, saya mengambil buku puisi dari perpustakaan kamar kos saya.
Beberapa buku puisi yang saya ambil dari rak buku adalah: Ekaristi (Mario F. Lawi), Roman Semesta (Fitrawan Umar), Api Bawah Tanah (Raudal Tanjung Banua), Rusa Berbulu Merah (Ahda Imran), Malam Tanpa Ujung (Irwan Bajang), Kumpulan Sajak 1948-2005 (Sitor Situmorang), Selected and Last Poems 1931-2004 (Czesław Miłosz), dan Don Quixote (Goenawan Mohamad). Saya mengambil acak dan membaca buku-buku puisi tersebut, satu demi satu, dan menemukan beberapa hal yang ingin saya rekam lewat catatan ini.
Ekaristi, sebuah kumpulan puisi milik seorang penyair muda asal Kupang, Mario F. Lawi adalah salah satu buku puisi yang saya tunggu. Penyair ini, dalam dua tahun belakangan, namanya berseliweran di harian nasional. Membaca puisi-puisinya Mario F. Lawi seperti membaca injil, atau setidaknya respons terhadap injil. Mario banyak menggunakan jargon-jargon agama di dalam puisi-puisinya, termasuk kisah-kisah yang diceritakan dalam alkitab. Tidak heran karena, seperti yang ia kisahkan sendiri pada bagian pengantar Ekaristi, ia tumbuh di sekolah misionaris dan orangtuanya pun kerap menceritakan kisah-kisah dari kepercayaan yang mereka anut kepadanya. Saya cukup menikmati puisi-puisi Mario dalam Ekaristi, meski lebih sering saya seperti masuk ke dalam sebuah ruangan gelap, tanpa penerangan. Saya kira ini karena saya tidak akrab dengan ajaran Kristen dan dengan demikian sulit bagi saya untuk memasuki hutan dalam puisi-puisi Mario yang dipenuhi jargon-jargon dan kisah-kisah keagamaan. Tak kalah gelapnya saya rasakan ketika membaca puisi-puisi Goenawan Mohamad dalam Don Quixote. Alasannya mungkin karena saya belum membaca novel Don Quixote karya terkenal Miguel de Cervantes itu. Goenawan Mohamad menulis Don Quixote sebagai respons dan penafsirannya terhadap novel tersebut, dengan menambahkan unsur-unsur melankoli dan roman. Saya cukup menikmati bagaimana si penyair memilih dan merangkai kata-kata dalam puisi-puisinya, dibantu dengan ilustrasi dan tata letak yang unik, puisi-puisi dalam buku Don Quixote memberikan efek tersendiri. Jarang sekali buku puisi penyair Indonesia yang berani bermain dengan tipografi, dan lebih sering mempertahankan bentuk tata letak konvensional alias tidak bermain bentuk sama sekali.
Roman Semesta karya Fitrawan Umar dan Malam Tanpa Ujung milik Irwan Bajang, sebaliknya, membawakan kepada saya sebuah kesederhanaan. Membaca puisi-puisi Fitrawan dan Irwan seperti masuk ke ruangan dengan pencahayaan cukup, sehingga saya dapat melihat apa yang berada di dalamnya. Meski tetap ada satu-dua elemen yang tidak saya mengerti. Itu bukan masalah. Di situlah saya kira keasyikan membaca puisi, saya tidak perlu mengerti isinya untuk dapat menikmatinya.
Saya lebih bisa merasakan keterikatan pada puisi-puisi Raudal Tanjung Banua dalam bukunya Api Bawah Tanah. Di sana, ia berkisah tentang perjalanan. Saya merasakan sebuah koneksi pada tahap kesamaan dengan Raudal sebagai anak rantau. Anak rantau, saya kira, nyaris selalu menggelisahkan satu hal: pulang. Perjalanan pergi dan kembali, tempat-tempat persinggahan, kebimbangan, rumah, nostalgia, perubahan, kerinduan, adalah hal-hal yang saya temukan di puisi-puisi Raudal. Kebanyakan ia menulis puisi seperti berdongeng, dalam larik-larik singkat namun panjang. Pada puisi-puisi yang pendek dengan bentuk seperti haiku atau tidak, Raudal kehilangan kekuatannya. Sepertinya ia memang lebih cocok menulis puisi-puisi yang panjang dan ‘mendongeng’. Jika Raudal dala Api Bawah Tanah berkisah tentang kampung halaman atau tempat asal, Rusa Berbulu Merah milik Ahda Imranbanyak bercerita tentang kota di mana ia tinggal. Memori dan pertemuan-pertemuan adalah hal yang banyak muncul dalam puisi-puisinya.
Buku puisi Sitor Situmorang dan Czesław Miłosz yang saya baca adalah buku yang memuat karya-karya penyairnya dalam rentang waktu sangat panjang, mungkin seluruh usia kepenyairan mereka. Dalam kumpulan puisinya pada rentang 1948-2005, saya mendapat satu kesimpulan tentang puisi-puisi Sitor Situmorang: ia mudah terpengaruh oleh teman-temannya sesama penyair, kota tempat ia tinggal, dan orang-orang yang (mungkin) ia idolakan. Ini terlihat dari banyaknya puisi yang ia tulis dengan judul-judul nama tempat atau kota. Sitor sering sekali menulis puisi-puisi tribute, untuk Chairil Anwar, misalnya, dan orang-orang lain dalam kehidupannya. Ia seolah-olah tidak pernah menulis untuk dirinya sendiri. Dan saya kira ia adalah seorang penyair yang sangat produktif pada masanya, karena jumlah puisinya yang terbilang banyak (ini tentu saja relatif). Czesław Miłosz adalah penyair asal Polandia pertama yang saya baca puisi-puisinya. Saya lebih akrab dengan nama Wysława Szymborska, namun justru belum pernah membaca puisinya (sulit sekali menemukan buku puisi karya penyair luar Indonesia, bahkan di toko buku bekas sekalipun). Dari puisi-puisinya yang saya baca, saya melihat Czesław Miłosz kerap menunjukkan kegelisahannya terhadap Tuhan, kehidupan, dan kematian. Ia juga menulis beberapa puisi tentang kota tempat ia tinggal dan puisi-puisi ‘memoir’ untuk orang-orang dalam kehidupannya. Namun yang paling saya ingat dari puisi-puisinya adalah kegelisahannya pada keberadaan Tuhan. Terlihat pada salah satu puisinya berjudul If There Is No God (If there is no God / Not everything is permitted to man / He is still his brother’s keeper / And he is not permitted to sadden his brother / By saying that there is no God //).
Seorang penyair Indonesia pernah bercerita bahwa suatu kali, penyair W. S. Rendra jatuh sakit pada hari di mana ia harus memenuhi undangan untuk membacakan puisi di sebuah acara. Rendra, pada akhirnya, tetap memenuhi undangan tersebut, dan mendeklamasikan puisi-puisinya. Selesai membaca puisi, Rendra mengaku tiba-tiba saja ia merasa baikan, tidak sakit lagi. Ternyata, membaca puisi baginya dapat menjadi obat, penyembuh. Mungkin seperti seorang penyanyi yang melupakan sakitnya ketika ia sedang beraksi di atas panggung, atau pelukis yang tidak ingat ia sedang demam saat asyik menggoreskan kuas di kanvas. Tenggelam dalam hal-hal yang kita kerjakan dengan rasa senang memang dapat membuat kita terdistraksi dari hal-hal lain, termasuk penyakit yang tengah kita derita. Saya kira itu yang dialami oleh Rendra.
Apakah itu terjadi juga pada saya? Apakah saya mendadak sembuh setelah membaca buku-buku puisi yang saya sebutkan tadi? Ternyata tidak. Tapi setidaknya dengan membaca puisi ketika sakit, saya merasa mendapatkan dunia kecil yang tidak perlu saya pahami. Di sanalah, bagi saya, letak kesenangan membaca puisi. Saya tidak perlu paham dan sepenuhnya mengerti. Ketika sakit saya tidak ingin berusaha untuk mengerti apapun. Saya hanya ingin berbaring di tempat tidur dan membaca sesuatu yang dapat saya nikmati. Apakah kamu bisa menikmati sesuatu tanpa harus memahami sesuatu tersebut? Kalau iya, bersyukurlah, karena banyak dari keindahan di dunia ini yang tidak bisa kamu pahami, hanya bisa kamu nikmati. Tapi, kalau kamu termasuk orang-orang yang harus mengerti sesuatu untuk menikmatinya, maka siapkanlah pisau bedahmu untuk menguliti keindahan-keindahan itu, temukan intisari dan pengertiannya. Jangan heran kalau nanti setelah mencoba menguliti dan memahami, kamu justru kehilangan waktu untuk menikmati keindahan itu. Apalagi jika yang sedang kamu kuliti adalah puisi, karena di dalam puisi terdapat keindahan yang tidak dapat dimengerti.
Selamat sibuk. Saya ingin tidur dulu. ***