Perkenalan pertama saya dengan Pramoedya Ananta Toer terjadi kira-kira setahun yang lalu, saat saya sedang mencari-cari buku di sebuah toko buku impor bekas di sudut Yogyakarta. Sudah lama mendengar namanya, namun saya belum pernah membaca karya-karyanya, satu pun. Orang-orang selalu membicarakan Pram, Pram, dan Pram, setiap kali muncul pembahasan tentang pengarang terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Saya pun sudah mengetahui bahwa Pram adalah satu-satunya pengarang Indonesia yang pernah dinominasikan untuk memenangi penghargaan Nobel Kesusastraan. Mengapa saya belum pernah membacanya? Karena saya tidak menemukan buku-bukunya. Mungkin karena saya tidak mencari. Atau mungkin karena saya sudah sempat melihat bukunya namun belum berminat membelinya. Ada banyak alasan yang bisa saya cari untuk sebuah buku yang tidak saya beli. Sebaliknya, tidak perlu alasan apa-apa ketika pada akhirnya saya memutuskan untuk membeli sebuah buku.
Sejujurnya, alasan pertama saya pada saat itu belum membaca novel-novel Pram adalah karena bayang-bayang “berat” karya pengarang kelahiran Blora tersebut. Dari yang saya dengar, Pram menulis tentang sejarah. Bayang-bayang lugu saya tentang “sejarah” adalah sesuatu yang berat dan sulit dicerna. Apalagi ketika sempat saya melihat novel-novel Pram kebanyakan tebal-tebal. Sementara pada saat itu saya merasa sedang berada pada fase tidak mampu membaca buku-buku berat dan tebal.
Ternyata, ketakutan saya adalah kesalahpahaman belaka. Saat melihat novel-novel Pram di toko buku impor bekas tadi dan diawali dengan perbincangan bersama beberapa teman di sana yang sudah membaca novel Pram, akhirnya saya berkata pada diri sendiri, oke saya harus membeli novel-novel Pram dan membacanya. “Yang mana yang disebut dengan Tetralogi Buru?” tanya saya, karena saya memang tidak tahu novel-novel Pram mana saja yang termasuk Tetralogi Buru, sebab tidak ada novel Pram berjudul Tetralogi Buru. Setelah diberitahu, saya membungkus empat novel Pram dalam Tetralogi Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Hal pertama yang saya sadari ketika mulai membaca buku pertama Tetralogi Buru, Bumi Manusia, adalah: saya sudah sampai halaman keseratus! Saya tidak sadar tiba-tiba sudah membaca cukup jauh, padahal perasaan baru memulai belum lama. Poin pertama sebuah karya fiksi yang baik: pembaca tidak sadar sudah membaca banyak halaman. Artinya, narasi si penulis sangat mengalir, seperti aliran air di sungai yang jernih. Membacanya tak tersandung oleh batu-batu, hambatan-hambatan atau plot yang membuat dahi mengernyit karena kehilangan fokus atau bagian berlubang yang mengganggu. Cara bertutur Pram sangat mengalir. Saya hampir tidak percaya dengan dakwaan saya sendiri yang sebelumnya menuduh novel-novel Pram berat dan karena itu tidak nyaman dibaca.
Minke, si tokoh utama dalam Tetralogi Buru (kecuali yang terakhir, Rumah Kaca, karena di novel tersebut cerita berpindah ke sudut pandang Jacques Pangemanann sebagai tokoh utama, seorang anak bangsa berpendidikan Eropa yang bekerja pada pemerintah kolonial) adalah seorang pemuda dan pelajar yang terpesona dengan ilmu pengetahuan milik Eropa. Sementara bangsanya sendiri dijajah oleh Eropa. Belakangan Minke sadar, kekagumannya pada Eropa tidak semestinya membuat ia meninggalkan bangsanya, dan ia harus berpihak pada keberlangsungan hidup dan kemakmuran bangsanya sendiri, dan menentang penjajah. Indonesia melawan penjajah. Beberapa orang menyebut Pram tidak menulis tentang Indonesia, melainkan hanya Jawa. Bagaimanapun, Pram telah menuturkan dengan baik sebuah konflik besar pada zaman itu lewat karya fiksi. Ciri lain dari sebuah karya fiksi yang baik: ide yang besar, grandeur. Meskipun ini masih bisa diperdebatkan karena ide “kecil” pun tetap bisa menjadi karya baik jika ditulis dengan baik. Namun, yang ingin saya katakan adalah, sebuah karya fiksi yang baik adalah karya yang merekam dengan baik keadaan zamannya. Pram melakukan itu.
Dalam sebuah tetralogi, tentu saja akan ada banyak tokoh. Selain Minke, ada Jean Marais, Robert Surhoff, Robert Mellema, Herman Mellema, Darsam, Nyai Ontosoroh, Annelies, dan Jacques Pangemanann. Ketika Minke berbicara, saya melihat pikiran-pikiran dan mendengar suara Minke yang penasaran dan penuh rasa ingin tahu. Saat Nyai Ontosoroh muncul dalam sebuah adegan, saya melihat Nyai Ontosoroh dan mendengar suaranya yang terselubung aura magis dan kebijaksanaan, namun terselip perlawanan. Begitu Annelies muncul, saya melihat gerak-gerik manja dan sosok yang rapuh pada dirinya. Melihat Darsam, saya menyaksikan kegarangan dan kepatuhan seorang abdi. Berdiri di samping Pangemanann, saya melihat kebimbangan seseorang yang lama-lama melihat dirinya sendiri sebagai seorang pengkhianat bangsa. Pram? Pram lenyap dalam cerita, hanya terdengar suaranya sebagai narator, itu pun cuma samar-samar. Karya fiksi yang baik adalah karya fiksi yang suara penulisnya hilang, meninggalkan suara-suara tokoh di dalam cerita. Tentu kita sering membaca novel yang memiliki banyak tokoh, namun suara si pengarang kentara sekali terdengar dan terasa di semua tokoh tersebut. Ia tidak bisa melepaskan diri dari tokoh, dan tidak bisa membiarkan cerita berjalan “dengan sendirinya”. Ketika Nyai Ontosoroh muncul, ia adalah Nyai Ontosoroh, bukan Pram. Ketika Annelies muncul, gadis itu adalah Annelies, bukan Pram.
Sebuah roman sejarah, tentu saja menuntut data yang cukup. Bukan hal yang sulit bagi Pram karena ia hidup pada zaman tersebut. Namun, memiliki data yang mumpuni bukan satu-satunya solusi untuk menulis sebuah karya fiksi yang baik. Seorang pengarang tidak bisa begitu saja menjejalkan data-data itu ke dalam cerita, dan membuat pembaca jengah bahkan mual membacanya. Alih-alih sebuah karya fiksi, membaca cerita yang ditumpah-ruahi data justru seperti membaca buku teks pelajaran, dan bukan itu yang dicari oleh seorang pembaca karya fiksi. Hal ini tidak terjadi pada Tetralogi Buru. Keterangan-keterangan tentang VOC, pemerintah dan hukum kolonial, peristiwa-peristiwa bersejarah lengkap dengan tempat dan tahun terjadinya, disajikan oleh Pram dengan cara yang enak, hingga data-data tersebut menyatu dengan plot cerita. Saya sama sekali tidak jengah dan mual. Karya fiksi yang baik adalah karya fiksi yang tidak terbebani oleh hasil riset, melainkan hasil riset tersebut tetap digunakan dalam koridor yang sudah terpasang pada plot cerita. Ini artinya, seorang pengarang tidak diizinkan mempertunjukkan kepintaran dan memamerkan keluasan wawasannya dalam novel yang ia tulis. Setidaknya ini menurut saya.
Saya sering ditanya oleh beberapa orang teman: “Novel yang baik itu yang seperti apa sih?” Ketika mendapatkan pertanyaan seperti atau sejenis itu, saya tidak memerlukan waktu banyak untuk menyebut satu contoh, sebab hanya satu yang terlintas dalam kepala saya: Tetralogi Buru. Kenapa? Karena Tetralogi Buru memiliki semua syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah karya fiksi yang baik.***