Dendam Kesumat Said Mahran
Apa yang akan kau rasakan, seandainya kau berada pada satu titik terendah dalam hidupmu setelah berbuat kesalahan, dan ketika kau membutuhkan secercah harapan untuk kembali menjalani hidup dengan baik, kau justru dikhianati oleh orang-orang yang sebelumnya sangat kau percaya: sahabatmu, panutanmu, gurumu, bahkan istrimu sendiri? Apa yang akan kau lakukan terhadap mereka, orang-orang terkasih yang telah mengkhianatimu?
Saya akan bertanya kepada Said Mahran, tokoh utama dalam novella The Thief and The Dogs karangan Naguib Mahfouz, penulis asal Mesir yang meraih Nobel Sastra tahun 1988. Said Mahran adalah seorang residivis. Dia baru saja bebas dari penjara. Perbuatannya: mencuri. The Thief and The Dogs dibuka dengan adegan kebebasan Said Mahran sekaligus penggambaran kemarahannya yang begitu intens. Itulah yang akan terasa sejak awal hingga akhir novel: kemarahan. Apa saja yang membuat Said Mahran marah? Mari kita urai satu per satu.
Nabawiyya Sulayman, istri Said Mahran yang meninggalkannya saat ia mendekam dalam penjara selama empat tahun, dan kemudian menikah dengan sahabat Said Mahran sendiri, Ilish Sidra. Ilish Sidra adalah partner terbaik Said semasa mereka masih mencuri.
Nabawiyya. Ilish. Your two names merge in my mind. For years you will have been thinking about this day, never imagining, all the while, that the gates would ever actually open. You’ll be watching now, but I won’t fall into the trap. At the right moment, instead, I’ll strike like Fate.
Sejak awal, Mahfouz telah menampilkan isi pikiran Said Mahran. Bahkan pada narasi di paragraf sebelumnya: “No one smiled or seemed happy. But who of these people could have suffered more than he had, with four years lost, taken from him by betrayal? And the hour was coming when he would confront them, when his rage would explode and burn, when those who had betrayed him would despair unto death, when treachery would pay for what it had done.” Konflik telah dibuka sejak permulaan: Said ingin balas dendam terhadap orang-orang yang telah mengkhianatinya dan membuatnya mendekam dalam penjara. Dua orang pertama yang muncul dalam pikirannya adalah sahabatnya, Ilish Sidra, dan mantan istrinya sendiri, Nabawiyya.
Sejak awal, saya telah dibawa ke dalam mood yang penuh amarah dan kebencian. Dan ini akan berlangsung sepanjang cerita. Saya bersiap untuk ketegangan berikutnya.
Maka Said pergi ke rumahnya, yang kini telah ditempati oleh pasangan suami-istri lain: Ilish dan Nabawiyya. Sesuatu selain kebencian dan hasrat ingin balas dendam telah menyeret langkahnya ke rumah itu: Said ingin bertemu dengan Sana, anak perempuan sematawayangnya. Sana adalah penawar rasa benci yang bertumpuk-tumpuk di dadanya. Namun, apa yang terjadi? Ketika ia sampai di rumah, Sana menolaknya. Sana tak ingin menyalami tangan Said. Setelah dikhianati oleh sahabat dan istrinya sendiri, kini anaknya menolak kehadirannya.
Untuk menenangkan diri, Said beranjak ke rumah Sheikh Ali Al-Junaydi, guru spiritual mendiang ayahnya yang telah membesarkannya sejak kecil dan memberikan pengetahuan agama. Harapannya untuk mendapatkan kata-kata penghiburan pun pupus, setelah Sheikh tampak sama sekali tak berpihak kepadanya dan tak berminat untuk menyemangatinya. Sheikh seolah tak menghendaki kedatangan Said ke rumahnya. Said telah ditolak, lagi. Dia kehilangan tempat mengadu dan berlindung.
I am alone with my freedom, or rather I’m in the company of the Sheikh, who is lost in heaven, repeating words that cannot be understood by someone approaching hell. What other refuge have I?
Merasa harus mendapatkan pekerjaan yang baik dan ingin menemui harapan terakhirnya, Said mendatangi Rauf Ilwan, pelajar sekolah hukum yang “kiri”, yang menjadi mentor dan mendidik Said menjadi pencuri profesional, mencuri harta kaum kaya raya. Said kecil yang yatim-piatu dibina oleh Rauf Ilwan menjadi Robin Hood. Menemui mentornya, Said terpana. Kini Rauf telah sangat berubah. Dia bukan lagi pencuri. Dia kini seorang pemilik koran bernama Al-Zahra dan dia sukses, kaya raya, hidup mewah. Rauf Ilwan telah meninggalkan masa lalunya yang gelap dan kini menjadi bagian dari masyarakat yang dahulu mereka rampok kekayaannya. “Things must be now change completely. Have you thought about your future?” kata Rauf kepada Said. Said menjawab, “My past hasn’t yet allowed me to consider the future.” Dendam kesumat masih menggelegak di dalam dada Said Mahran, dan kebencian yang menjadi api dendam kesumat itu semakin membara ketika dia melihat Rauf Ilwan, mentornya sendiri, idolanya, panutannya, tampak tak begitu bersahabat dengannya dan tak mendukung rencana-rencananya dan tak berada di pihaknya lagi, seperti dahulu kala. Kekecewaan menusuk-nusuk dada Said dan merobek kepercayaannya kepada Rauf.
You made me and now you reject me: Your ideas create their embodiment in my person and then you simply change them, leaving me lost-rootless, worhtless, without hope-a betrayal so vile that if the whole Muqattam hill toppled over and buried it, I still would not be satisfied.
Berlandaskan perasaan benci itu, Said berencana untuk merampok rumah Rauf yang penuh harta benda. Sayangnya, kecerobohan Said membuatnya masuk ke dalam perangkap. Rauf telah bersiap dan menanti kedatangannya. Said tertangkap basah hendak merampok rumah Rauf. Rauf mengusir Said dengan keras, tak mengindahkan permohonan maaf Said, dan pada saat itulah hubungan murid dan mentor menjadi sebuah permusuhan yang abadi.
Merasa sedih, kecewa, dan depresi, Said beruntung masih punya tempat bersandar terakhir. Dia datang ke sebuah kafe di sudut gurun, terpencil dari kota, milik seseorang bernama Tarzan. Tarzan dan kroni-kroninya masih membuka tangan lebar-lebar untuk kepulangan Said. Mereka adalah komplotan pencuri dimana Said (dan Ilish, dan Rauf dahulu) bekerja secara terorganisir. Di sana, Said bertemu dengan Nur, seorang perempuan yang sejak dahulu menaruh hati pada Said. Namun, “What love he’d had been the exclusively property of that other, unfaithful woman. He’d been made of stone. There’s nothing more heartbreaking than loving someone like that.” Said tak bisa mencintai Nur sebab hatinya masih dipenuhi kebencian terhadap mantan istrinya, dan dia tak punya waktu untuk cinta yang baru, cinta yang lain.
Dengan bantuan Tarzan dan Nur, Said Mahran menyusun rencana balas dendamnya. Dia memperoleh sebuah revolver dari Tarzan, yang hendak dia gunakan untuk membunuh Ilish Sidra, Nabawiyya, dan Rauf Ilwan. Meski demikian, sesekali tetap terlintas di kepala Said akan keselamatan dan keberlangsungan hidup anak sematawayangnya, Sana. Namun tampaknya perasaan sentimentil itu tak bertahan lama, sebab Said segera kembali kepada agenda balas dendamnya. Target pertama: Ilish Sidra dan Nabawiyya.
Kebencian yang berkobar-kobar dan dendam kesumat yang teramat panas telah membuat Said Mahran bertindak impulsif tanpa rencana yang matang dan kehati-hatian, sehingga dia menjadi ceroboh. Tembakan yang dia kira menghantam Ilish Sidra, ternyata memakan korban lain, yakni Shaban Husayn. Seseorang yang menempati rumah Ilish dan Nabawiyya yang ternyata telah pindah rumah setelah kedatangan Said pertama kali. Peluru Said Mahran telah salah sasaran.
Peristiwa pembunuhan tersebut segera saja tersebar setelah beritanya dimuat di koran dan Rauf Ilwan menulis artikel khusus tentang para perampok di hariannya Al-Zahra. Said tahu, Rauf sengaja menulis artikel itu untuk mempersempit pergerakannya dan memojokkannya. Benar saja, setelah artikel tersebut naik, bahkan kafe milik Tarzan tak lagi menjadi tempat yang aman bagi Said Mahran.
Satu-satunya harapan Said kini adalah Nur. Said menginap di apartemen Nur yang terletak di sudut kota. Di halaman belakang apartemen tersebut terdapat lahan pemakaman. Di sana, Said merenung dan mengingat kembali masa lalu, tentang Nabawiyya yang mencuri perhatiannya, Ilish Sidra yang berbahagia atas pernikahan mereka, Rauf Ilwan yang masih menjadi mentornya, dan Sana yang baru saja lahir. Untuk sejenak, Said tenggelam dalam suasana melankoli dan perasaan sentimentil. “How did you spent your time?” Nur, yang memiliki nama asli Shalabiyya, bertanya kepada orang yang dia cintai dengan tulus sejak dahulu kala. Dan Said Mahran pun menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang memancing imajinasi dan interpretasi yang luas: “Between the shadows and the graves.”
Di situ lah salah satu letak kekuatan Naguib Mahfouz dalam The Thief and The Dogs. Dialog-dialog yang dalam. Pada satu bagian terdapat dialog seperti ini: “What does a man need in this country, Said?” and without waiting for an answer he said, “He needs a gun and a book: the gun will take care of the past, the book is for the future. Therefore you must train and read.”Selain dialog-dialog yang kuat, deskripsi suasana yang ditulis Mahfouz juga terasa puitis: The crescent moon had gone down early, leaving stars to glitter in a sky profoundly black, and a soft breeze blew, distilled from the breath of the night after a day of stunning, searing summer.
Membaca The Thief and The Dogs, kau harus bersiap-siap untuk berhadapan dengan tempo cerita yang cepat dan amarah yang berapi-api. Siap-siap pula untuk rasa depresi dan muram. Tak ada kebahagiaan di sini. Tak ada adegan-adegan manis nan romantis. Tak ada penghiburan yang ditawarkan oleh penulisnya sama sekali. Tak ada happy ending. Kau melulu akan diseret ke dalam kebencian dan rasa dendam kesumat dari satu adegan ke adegan berikutnya. Dari awal hingga akhir.
Pencuri (“The Thief”) dalam cerita bergenre thriller karangan Mahfouzini adalah simbol kritik dan perlawanan terhadap kemapanan. Dimana Rauf Ilwan dan Said Mahran secara profesional mencuri hanya dari kaum kaya-raya yang hidup berjarak dari kemiskinan di lingkungan mereka. Mereka menjadi Robin Hood versi Mesir. Sementara itu, anjing (“The Dogs”) menjadi simbol pengkhianatan. Sering Said Mahran mengumpat orang-orang terdekatnya yang telah berkhianat kepadanya sebagai anjing. Anjing juga menjadi lambang whistle blower, yang “menyalak” dan merusak seluruh rencananya, dan kemudian menyudutkan Said Mahran hingga dia menemui ajalnya.
Dendam kesumat digambarkan Mahfouz sebagai sesuatu yang sepertinya sama sekali tak berguna. Lihatlah agenda balas dendam Said Mahran, tak ada satu pun yang terwujud. Percobaan pertama membunuh Ilish Sidra dan Nabawiyya ternyata gagal. Tembakan Said salah sasaran. Percobaan berikutnya membunuh Rauf Ilwan pun gagal. Lagi-lagi, untuk kedua kalinya, peluru Said menelan nyawa yang tak seharusnya, dia malah menembak pembantu Rauf Ilwan. Dua tembakan salah sasaran tersebut membuat Said semakin panik dan depresi. Nur, satu-satunya orang yang masih meletakkan harapan baik kepada Said pun akhirnya meninggalkan Said. Nur kecewa, kasih sayangnya yang tulus dan usahanya untuk menarik Said ke kehidupan yang lebih baik ternyata tak begitu dianggap oleh Said, sebab Said terlalu sibuk mencari cara untuk membunuh orang-orang yang ingin dia lenyapkan. Sepanjang cerita, kita diperlihatkan pada kegigihan sekaligus keras kepalanya Said yang merasa bahwa tujuan hidupnya hanyalah satu: membunuh Ilish, Nabawiyya, dan Rauf Ilwan. Dia tidak peduli apa yang akan terjadi setelahnya. “Ilish Sidra,” he said aloud, heard only by the trees as they drank in the breeze, “and then Rauf Ilwan. Both in one night. After that, let come what may.”
Sayangnya, saya kira, ada satu hal mendasar yang luput ditulis oleh Mahfouz. Tak digambarkan betul bagaimana akhirnya Said Mahran bisa ditangkap dan masuk ke dalam penjara? Pada pencurian yang mana dan bagaimana dia ditangkap? Apakah pencurian tersebut melibatkan pula Ilish Sidra dan Rauf Ilwan (semestinya iya) dan mengapa Ilish Sidra dan Rauf Ilwan tidak ditangkap? Proses apa yang dijalani Rauf Ilwan sehingga dia tahu-tahu menjelma dari seorang pencuri profesional yang membenci orang kaya menjadi seorang pengusaha dan hidup mewah? Bagian-bagian ini tak saya temukan dan membuat saya cukup bertanya-tanya.
Satu hal menarik yang baru saya temukan setelah saya membaca ulang The Thief and The Dogs, adalah bagaimana ternyata Mahfouz menggunakan peristiwa percobaan pembunuhan oleh Said Mahran sebagai sebuah metafor. Pembunuhan “gagal” yang dilakukan Said Mahran adalah sindiran dan kecaman Mahfouz terhadap peristiwa Revolusi Mesir pada tahun 1919. Dimana saat itu dia masih kecil, dan dari jendela rumahnya dia kerap melihat tentara Inggris menembaki para demonstran. Lelaki dan perempuan.
“I did not kill the servant of Rauf Ilwan. How could I kill a man I did not know and who didn’t know me? Rauf Ilwan’s servant was killed because, quite simply, he was the servant of Rauf Ilwan. Yesterday his spirit visited me and I jumped to hide in shame, but he pointed out to me that millions people are killed by mistake and without due cause.”
The Thief and The Dogs bukan semata-mata kisah thriller yang dibangun dengan baik lewat ketegangan-ketegangan yang sangat intens, melainkan juga sebagai bentuk kritik Mahfouz terhadap peperangan. Lewat peristiwa yang dialami Said Mahran, dapat dilihat bahwa dendam kesumat seseorang (atas hasil peperangan atau yang lain) tak akan pernah membawanya kepada keberhasilan, bahkan jikalau dia memang berhasil menyalurkan hasrat dendam kesumatnya itu.
***