Perempuan dalam Cerita-Cerita Munro
“Men are always out for what they can get,” ujar Alma, salah seorang tokoh fiksi dalam cerita pendek Alice Munro berjudul “Postcard” di bukunya yang saya baca, Dance of the Happy Shades. Alice Munro adalah seorang cerpenis asal Kanada yang meraih penghargaan Nobel Sastra tahun 2013. Dance of the Happy Shades adalah buku pertamanya, terbit pada tahun 1968. Meskipun bukunya yang sedang saya baca ini adalah sebuah kumpulan cerita, yang bisa dibaca secara acak, namun saya terbiasa membaca sebuah buku secara berurut. Maka demikianlah saya mulai membaca Dance of the Happy Shades dari cerita pertamanya, “Walker Brothers Cowboy”.
Saat membaca cerpen pertama, saya masih belum menangkap di mana letak kekuatan cerpen Munro dan gagasan apa yang hendak ia sampaikan. Namun, setelah membaca cerpen-cerpen berikutnya, barulah saya paham bahwa Munro selalu bicara tentang perempuan. Salah satunya tergambar dari dialog di awal tulisan ini. “Men are always out for what they can get.” (“Postcard”) bercerita tentang seorang perempuan yang ditinggal menikah secara tiba-tiba oleh lelaki yang dicintainya.Dialog tersebut menunjukkan bagaimana Munro memunculkan pandangan perempuan terhadap laki-laki. Pada bagian lain, kita akan menemukan seorang gadis remaja yang merasa dirinya tidak menarik karena tidak ada lelaki yang mengajaknya berdansa (“Red Dress-1946”), seorang perempuan pembantu rumah tangga yang merasa hidupnya begitu menyedihkan sebab terasa kontras dengan kemewahan keluarga tempat ia bekerja, namun tiba-tiba ia merasa bersyukur dan bahagia karena seorang laki-laki anggota keluarga tersebut menghampirinya dan mencium bibirnya begitu saja (“Sunday Afternoon”), seorang gadis yang mencoba melupakan mantan kekasihnya dan menyembuhkan dirinya dari rasa sakit hati (“An Ounce of Cure”), dan seterusnya.
Dalam Dance of the Happy Shades, Munro mengangkat masalah-masalah yang dialami oleh perempuan pada berbagai usia. Seorang gadis, perempuan dewasa, bahkan wanita tua. Cerpen “A Trip to the Coast” menampilkan kekhawatiran seorang nenek kepada cucunya dan ketidakpercayaannya terhadap remaja laki-laki. Munro mengulik konflik yang terjadi pada perempuan dalam dua jalur: bagaimana pandangan seorang perempuan terhadap hal-hal di dalam dan di luar dirinya, dan bagaimana pandangan pihak di luar perempuan (publik, laki-laki, atau keluarga sendiri) terhadap seorang perempuan (stigma, nilai, dan hal-hal semacamnya). Hal ini kentara sekali terasa pada cerpen “Boys and Girls”, dimana terdapat paragraf berbunyi seperti berikut:
My grandmother came to stay with us for a few weeks and I heard other things. “Girls don’t slam doors like that.” “Girls keep their knees together when they sit down”. And worse still, when I asked some questions, “That’s none of girls’ business.” I continued to slam the doors and sit as awkwardly as possible, thinking that by such measures I kept myself free.
Lewat tokoh utama dalam cerpen “Boys and Girls”, Munro seolah hendak melawan nilai-nilai yang telah dilekatkan masyarakat kepada perempuan. Pada bagian akhir cerpen tersebut, terdapat sebuah adegan dimana si tokoh utama perempuan membiarkan kuda milik ayahnya lepas pada saat ia seharusnya bisa mencegah kuda itu kabur, dan si ayah berkata: “Never mind. She’s only a girl.” Munro menunjukkan bahwa laki-laki kerap menganggap remeh perempuan dan sangat wajar apabila perempuan melakukan kesalahan-kesalahan seperti itu.“Never mind. She’s only a girl.” Jika di cerpen “Boys and Girls” Munro menampilkan stigma laki-laki terhadap perempuan, maka pada cerpen “Thanks for the Ride”, adalah sebaliknya. Munro menulis adegan yang menggambarkan bagaimana anggapan seorang perempuan terhadap kebiasaan laki-laki. “He just went around with me for the summer. That’s what those guys from up the beach always do. They come down here to the dances and get a girl to go around with. For the summer. They always do.” Tampak bahwa laki-laki sering ‘menggunakan’ perempuan untuk kepentingan (kenikmatan?) yang sementara saja, sebuah selingan.
Perempuan dalam cerita-cerita Munro muncul dalam sosok yang kompleks, sementara laki-laki yang ia gambarkan adalah laki-laki pada umumnya (atau laki-laki di mata Munro?) yakni sebagai makhluk yang oportunis (Clare pada “Postcard”), merasa dirinya superior (Ayah pada “Boys and Girls”), dan tukang main-main dengan perasaan perempuan (Martin Collingwood pada “An Ounce of Cure”). Tak hanya bercerita tentang konflik pandangan antara perempuan dengan laki-laki dan perempuan dengan publik (“The Shining Houses”), Munro juga menampilkan konflik antar perempuan itu sendiri (“The Peace of Utrecht”). Lewat cerita-ceritanya, Munro mempertanyakan, menyindir, bahkan melawan standar-standar atau stigma yang telah dilekatkan publik terhadap perempuan, yang dianggap Munro sebagai kurungan atau pengekang yang sama sekali tidak adil. Selain memunculkan sosok perempuan yang mandiri (seorang istri di “The Office”), penuh pengalaman hidup dan kritis dan penuh kecurigaan (nenek di “A Trip to the Coast”), Munro juga memunculkan sosok perempuan yang lugu dan sederhana (Miss Marsalles di “Dance of the Happy Shades”), dan pada beberapa bagian ia juga seakan tak bisa melawan atau menyetujui bahwa perempuan juga seringkali naif dan mudah terbawa perasaan (dan dipermainkan?) oleh laki-laki (“An Ounce of Cure”, “Sunday Afternoon”, “Red Dress-1946”). Ada bagian dari diri perempuan yang, sekeras apapun berusaha diperkuat dengan keteguhan dan kemandirian, tetap menjadi lemah jika disentuh dan dimasuki oleh laki-laki. Dan, setidaknya tercermin dari beberapa bagian dalam cerita-ceritanya, Munro tidak melawan fakta ini.
Saya merasa kekuatan utama cerita-cerita Alice Munro terletak pada ideologinya, bagaimana sikap politiknya sebagai perempuan memandang dan bereaksi terhadap pandangan-pandangan publik terhadap perempuan (dan karena dirinya adalah perempuan, maka terhadap dirinya sendiri pula). Dari segi teknik, jelas tak ada yang perlu dipertanyakan lagi sebab Munro adalah peraih Nobel Sastra. Munro begitu mahir bermain dengan detil suasana, visual, dan pikiran-pikiran tokoh dalam ceritanya. Narasi yang dibangun Munro terasa kokoh dan padat. Ia kerap menambahkan atribut-atribut singkat sebagai pelengkap terhadap apa yang dilihat atau dirasakan si tokoh akan sesuatu atau seseorang. Caranya bertutur lewat narasi, dialog, dan deskripsi yang kuat amatlah sulit untuk ditiru, saya rasa (saya akan mencobanya nanti, dan kemungkinan besar akan gagal, tidak masalah). Peristiwa demi peristiwa dalam cerita-cerita Munro mengalir dengan begitu alami. Tak ada yang dibuat-buat, apalagi dipaksakan, seakan seperti kehidupan itu sendiri, berjalan apa adanya dan dengan alasan-alasan logis sebagaimana memang mestinya sebuah fiksi yang baik.
Jika kau ingin membaca cerita-cerita bagus tentang perempuan yang ditulis dengan sangat baik oleh seorang perempuan dan terasa sangat perempuan, maka bacalah cerita-cerita Alice Munro. Kau akan dibawa ke dalam dunia pikiran dan perasaan perempuan yang kompleks, yang sepertinya akan membuatmu paham, mengapa perempuan sulit dimengerti. Salah satu jawabannya adalah: sebab perempuan pun sering merasa dirinya begitu rumit sehingga mereka mengalami kesulitan untuk memahami diri mereka sendiri.
***