Semakin Banyak Pilihan, Semakin Baik
Sebut saja Wahyu, seorang teman saya, seharusnya satu jam yang lalu tiba di tempat saya duduk saat ini di sebuah kafe dan membicarakan soal rencana proyek buku yang akan kami kerjakan bersama. Namun, hingga saat ini batang hidungnya belum juga muncul. Entah sedang di mana dia sekarang. Saya sudah memesan gelas kopi kedua dan Wahyu, teman saya itu, tak juga datang-datang.
Saya mengirim pesan lewat messenger ponsel kepada Wahyu, tapi tak mendapatkan balasan. Pesan terakhir Wahyu kepada saya adalah: “Otewe.” Yang ia maksud adalah, on the way, alias sedang dalam perjalanan. Entah dia sedang dalam perjalanan menuju ke mana, apakah ke tempat saya berada saat ini atau ke tempat lain. Wahyu sudah membuat saya menunggu terlalu lama.
Sambil membaca-baca Bumi Manusia Pram, saya membuka linimasa Twitter. Olala, alangkah kagetnya saya ketika melihat username Wahyu muncul sebagai tweet baru di linimasa, satu menit yang lalu. Artinya ia belum otewe karena masih sempat-sempatnya ia mencuit di Twitter. Kacau betul teman saya itu. Segera saya kirim direct message kedia:
To @mungkinwahyu: Oi, lama sekali. Lagi di mana?
Cepat Wahyu membalas, tak seperti ketika saya mengirimnya pesan lewat messenger.
From @mungkinwahyu: Masih di jalan, Bar. 10 menit, oke?
To @mungkinwahyu: Sudah satu jam kutunggu. Lihat messenger-mu, aku kirim pesan berkali-kali di sana. Lihatlah.
From @mungkinwahyu: Oh, iya iya, he he he maaf. Lagi nggak lihat messenger. Kamu kirim lewat messenger lain sih.
To @mungkinwahyu: Cepatlah. Kalau dalam 10 menit kau tak sampai, aku pergi.
From @mungkinwahyu: Meluncur, bos!
Kadang saya heran dengan Wahyu, untuk apa pakai ponsel canggih alias smartphone kalau dia menjadi semakin sulit untuk dihubungi. Padahal, saya ingat waktu pertama kali Wahyu membeli smartphone, dia begitu bangganya dengan smartphone miliknya itu seakan-akan tak ada lagi ponsel yang lebih baik dari yang dia punya.
“Kamu harusnya beli juga smartphone seperti punyaku ini, Bar.” katanya sambil menggerak-gerakkan jari di atas layar sentuh ponselnya. “Kamu pasti akan tampak lebih trendi.”
Tampak-lebih trendi? Jadi sebetulnya trendi hasil dari menggunakan ponsel tersebut hanya sebuah “tampak”? Hanya sebuah “sepertinya? Sementara kenyataannya tidaklah demikian. Lagipula, saya tidak yakin apakah saya ingin atau butuh untuk menjadi trendi. Maka saya tidak mengindahkan pernyataan (atau suruhan) Wahyu untuk membeli ponsel seperti smartphone miliknya itu.
Sepuluh menit kemudian Wahyu tiba. Tergopoh-gopoh ia menghampiri saya.
“Susah betul kuhubungi kamu, Wahyu.”
“Masa? Messenger-ku aktif terus, kok.”
“Aku kirim lewat messenger lain. Aku kan nggak pakai messenger seperti yang kamu pakai, lupa ya?”
“Oh, iya!” Wahyu menepuk dahinya. “Ya, sori, lagian kenapa sih kamu nggak pakai messenger-ku saja? Kan jadi susah komunikasinya.”
“Kenapa kamu masih pakai messenger yang itu saja? Kan jadi susah komunikasinya.” Saya membalas. Wahyu tertawa terbahak-bahak.
Sejenak kemudian Wahyu bangkit dari kursi dan memesan minuman. Setelah kembali ke meja, ia meletakkan ponselnya sambil memandanginya dengan tatapan khawatir. Seolah ia sedang menatap anak sematawayangnya yang sedang terserang sakit.
“Kenapa, tiba-tiba kusut begitu?”
Wahyu menghela napas dalam. “Lama-lama messenger aku ininggak bisa diandalkan. Sering pending. Tadi pacarku ngomel-ngomel, gara-gara aku lama membalas pesannya, padahal memang nggak ada masuk message dari siapapun.”
“Terus, kenapa masih pakai messenger itu?”
“Ya, bagaimana, teman-teman dan rekan kerja semuanya masih komunikasi pakai aplikasi messenger yang ini. Orangtuaku juga.”
“Suruh ganti saja.”
“Nggak mungkin semudah itu lah. Masa aku tiba-tiba kirim broadcast message ke semua kontakku dan menyuruh mereka semua mengganti ponselnya dengan yang lain? Bisa dilempar charger nanti kepalaku ini.”
“Tidak harus menyuruh mereka semua. Setidaknya, kamu mulai untuk dirimu sendiri. Ganti dengan smartphone lain. Yang lebih bisa diandalkan. Jangan hanya karena alasan banyak yang pakai dan supaya tampak trendi.” Aku mengulang alasan Wahyu membeli smartphone yang sekarang ia pandang dengan wajah muram itu.
“Tapi messenger-kusekarang sudah berkembang, lho, Bar. Ada voice message-nya juga.”
“Tapi koneksinya bagaimana?”
“Sering nggak terkirim, sih. Harus betul-betul bagus baru bisa lancar.”
“Tuh, kan.”
Dengan santai, saya menyantap sepotong red velvet di atas piring kecil sambil masih membaca Bumi Manusia Pram. Mengagumkan betapa Nyai Ontosoroh mampu belajar dan menyerap pengetahuan-pengetahuan Eropa untuk kemudian menjadi bekal baginya berdiri di kaki sendiri tanpa bergantung dengan siapapun. Seharusnya Wahyu, teman saya ini, juga belajar dan menyerap pengetahuan baru bahwa smartphone yang ia pakai saat ini sudah tidak trendi dan sudah tidak dapat diandalkan lagi untuk berkomunikasi sehari-hari.
“Tapi kalau aku nggak pakai inilagi, nanti pacarku ngomel-ngomel lagi. Dia kan juga hanya pakai messenger ini.”
“Justru semakin lama kamu pakai itu, semakin menjadilah pacarmu itu ngomel-ngomel kepadamu akibat komunikasi kalian terhambat oleh pending-pending itu.”
“Iya, sih. Betul juga.”
“Sudah saatnya beralih ke smartphone yang lebih mumpuni. Demi pekerjaanmu dan demi pacarmu.” Saya menghabiskan potongan red velvet terakhir, kemudian mengambil tisu dan menyeka mulut.
“Apa rekomendasimu, Bar?”
“Samsung.”
“Jenisnya? Tipenya?”
“Samsung Galaxy Ace 3, seperti yang kupakai ini. Tampilannya muda, bersih, santai, seperti aku dan kamu juga.”
“Ah, bisa saja. Apa kelebihannya?”
“Yang jelas sudah sangat lengkap dan banyak ragam aplikasi messenger-nya. Bisa berkomunikasi dengan smartphone manapun.”
Wahyu tampak menimbang-nimbang. Tangan kirinya meraih ponsel saya dan menggenggamnya, sementara tangannya yang lain mengusap-usap ponselnya. Seolah-olah ia sedang berpikir keras untuk menentukan mana dari dua orang gadis yang tampak menggoda yang harus dipilihnya menjadi kekasih. Yang satu sudah jamak dipakai orang lain sehingga membuat Wahyu merasa ia tampak trendi jika memakainya juga. Yang satu lagi rekomendasi dari saya yang menawarkan solusi untuk omelan pacarnya akibat miskomunikasi pada messenger mereka.
“Tapi, di ponselmu ini kan nggak ada messenger sepertiku,” katanya.
“Ada banyak chat messenger lain di dunia ini selain yang kamu pakai itu, Wahyu.” jawab saya. “Dan lebih bisa diandalkan ketimbang punyamu.”
“Tapi, bagaimana dengan pacarku? Rekan kerja? Orang-orang lain?”
“Orang-orang lain juga sudah banyak yang meninggalkan messenger yang kamu pakai itu, tak tahukah kamu?” Saya menutup buku Bumi Manusia di hadapan, meninggalkan sejenak Minke dan Annelies untuk meyakinkan teman saya ini akan sesuatu yang masih belum bisa ia terima. “Mereka pergi dari yang lama sebab telah sadar bahwa ada yang baru yang lebih bisa diandalkan. Mereka beralih kepada sesuatu yang lebih baik. Seperti Minke beralih dari pengetahuan purba yang ia anggap keliru kepada pengetahuan baru yang lebih menjanjikan.”
Wahyu mengerutkan dahinya. Tampak menimbang-nimbang lebih keras. Seakan ia tengah berpikir untuk mengambil keputusan penting dalam hidupnya. Saya memandangnya lekat-lekat. Menunggu kata-kata keluar dari mulutnya. Mata Wahyu berputar dari ponsel miliknya ke ponsel milik saya.
“Kamu tahu, Bara, baiklah! Baiklah. Temani aku ke toko sekarang juga. Memang sudah sejak lama aku harus mengganti ponselku ini. Aku sudah lama butuh sesuatu yang lebih bisa diandalkan. Ponsel milikmu ini, Samsung Galaxy Ace 3 ini, sepertinya tampak menjanjikan.”
“Bukan tampak, Wahyu, tetapi memang menjanjikan.”
“Ya, ya, baiklah. Kita lihat nanti. Sekarang, sebelum kita membahas proyek buku yang akan kita buat, mari temani aku sebentar ke toko buku untuk melihat-lihat ponsel pengganti milikku ini.”