Bulu Mata Seorang Perempuan
Are membaca buku di beranda kosnya sambil menyeruput segelas kopi hitam tanpa gula, ketika matahari tengah lindap ke telapak kaki langit di ufuk barat dan senja memamerkan kecantikannya seperti biasa. Pada halaman dua puluh tiga dari buku yang sedang ia baca, Are memicingkan mata. Ia melihat sehelai bulu mata menempel pada halaman buku tersebut. Bulu mata yang entah dari mana datangnya itu terbaring tepat pada halaman pembukaan bab tiga yang secara kebetulan berjudul: “Rindu”.
Kata ibu dan orang-orang dulu, sehelai bulu mata yang gugur dari tempatnya menandakan bahwa ada seseorang yang sedang merindukan pemilik bulu mata tersebut. Are menganggapnya konyol. Bagaimana bisa mengetahui apakah seseorang sedang merindukan orang lain jika ia tidak mengatakan langsung bahwa ia sedang rindu. Kurang kerjaan sekali, pikirnya, jika ada orang yang menebak-nebak dan menuduh bahwa seseorang sedang rindu kepadanya hanya lewat sehelai bulu mata yang gugur. “Tetapi rindu tidak selamanya mampu diucapkan, Nak,” kata ibu. Dan Are mengangguk saja.
Dari beranda kos, terdengar suara televisi di kamar salah seorang penghuni. Berita tentang penangkapan teroris. Atau setidaknya begitu yang samar-samar terdengar oleh telinga Are. Kemudian suara iklan layanan masyarakat, tentang pencegahan dan pengobatan kanker.
Sudah sepuluh tahun sejak ibunya meninggal. Kanker usus telah merenggut nyawa perempuan yang paling dicintainya itu. Are membayangkan jika ibunya masih hidup, pada pukul seperti ini ketika senja sedang terang dan merah-jingga menyorot beranda rumahnya, pasti ibu akan duduk di sebelahnya sambil mengiris buah mangga. Ibu akan meletakkan irisan daging mangga di atas piring kecil dan menyodorkannya kepada Are, sambil lelaki itu membaca bukunya. Tetapi sekarang di beranda tidak ada siapa-siapa selain dirinya, pikirannya yang menerawang ke masa-masa sepuluh tahun yang lalu, buku yang sedang ia pegang, dan suara berita televisi tentang penyerbuan teroris.
Lalu ia teringat Milana, perempuan yang ia cintai kedua setelah ibunya. Perempuan cantik itu pergi meninggalkannya dengan lelaki lain tepat setahun setelah Tuhan memanggil ibu. Perempuan yang mencintai senja itu telah menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya. Perempuan itu dijodohkan dengan lelaki pilihan orangtuanya. Dan Milana, seperti pengakuannya kepada Are, tidak sanggup untuk menolak.
Lelaki yang dijodohkan dengan Milana adalah seorang dokter bedah. Are sempat kecewa dan menyesalkan sikap Milana yang seakan-akan tidak ada perjuangannya untuk mempertahankan hubungan mereka. Namun, pada titik tertentu, dalam masa-masa perenungannya Are merasa orang tua Milana pantas memilih lelaki tersebut. Sebab apa yang bisa diharapkan mertua dari seorang lelaki yang pekerjaannya hanya menulis? Are tidak pernah mengenakan kemeja, celana bahan, sepatu pantofel, dasi, dan duduk di balik kubikel kantor dan mendapatkan gaji sekali setiap bulan. Ia adalah lelaki yang hidup dalam ketidakpastian. Bukankah semua calon mertua membenci ketidakpastian?
Are hanya lelaki yang sehari-harinya berkutat dengan laptop tua yang ia pakai untuk mengetik naskah cerita-ceritanya dan berharap cerita tersebut berhasil menembus kolom seni di koran minggu kemudian mendapatkan honor yang juga tidak seberapa. Atau, berharap dewi fortuna menghampiri dirinya dan naskah yang ia kirim ke penerbit diterima dan diterbitkan menjadi buku dan terjual laris. Tentu saja kedua hal itu belum pernah terjadi. Setidaknya hingga saat ini.
Are meraih cangkir kopi dan menyeruputnya lagi. Ia menatap lekat-lekat sehelai bulu mata yang menempel pada halaman dua puluh tiga buku yang sedang ia baca. Ia tidak tahu itu bulu mata siapa.
Ia meminjam buku itu dari seorang teman yang ia kenal di perpustakaan kota. Temannya itu seorang perempuan. Mereka berkenalan seperti adegan di sinetron televisi: tak sengaja bersentuhan tangan saat meraih sebuah buku di salah satu rak. Are dan perempuan itu sama-sama kaget dan saling tatap. Tatapan perempuan itu mengingatkan Are pada tatapan Milana.
***
Jam meja menunjukkan pukul tiga lewat lima dini hari. Tak kurang dari tiga jam Are telah berkutat dengan halaman kosong di hadapannya. Pikirannya buntu. Tak satu pun kata keluar dari jemarinya. Ia membenci saat-saat seperti ini. Saat-saat di mana ia harus mendapatkan uang tetapi seluruh bagian otaknya tampak menolak untuk diajak bekerja sama.
Are hendak menyeruput kopi hitam dari cangkir yang bertengger di samping laptop. Hanya tersisa ampas. Ia meraih sebungkus rokok yang tergeletak di sebelah cangkir. Sudah habis. Sial, ia mengumpat dalam hati. Ia menimbang-nimbang untuk membeli sebungkus rokok di warung tak jauh dari rumah kos, namun ia ingat isi dompetnya tak terlalu setuju dengan keinginannya itu. Lebih bijak jika ia menggunakan uangnya untuk membeli sarapan atau makan siang nanti. Ya, mungkin itu keputusan yang lebih bijak.
Sejak lulus dari jurusan Sastra Indonesia, Are menggantungkan hidupnya pada kata-kata. Ia tak memiliki minat untuk mengenakan dasi, kemeja rapi, celana bahan, sepatu pantofel, dan kerja di bank seperti kawan-kawan kampusnya yang lain. Untuk apa kuliah sastra kalau pada akhirnya bekerja sebagai karyawan bank, pikirnya. “Uang lebih kuat dari kata-kata, kawan,” ucap seorang teman sejawatnya. Keesokan harinya, Are memutuskan untuk putus hubungan persahabatan dengan temannya itu.
Bagaimana bisa seseorang yang selama bertahun-tahun bergulat dengan kata-kata, bisa dengan mudahnya mengucapkan kalimat seperti itu? Kacau, pikir Are.
Are ingin membuktikan kepada temannya itu, bahwa kata-kata lebih kuat daripada uang. Oke, ia membutuhkan uang, tetapi ia akan mendapatkannya lewat kata-kata. Ia akan memegang dan menguasai dan mengendalikan uang dengan kata-kata. Kata-kata lebih kuat daripada uang. Kata-kata lebih kuat daripada uang. Are menanamkan keyakinan itu dalam-dalam di dasar kepalanya.
Tapi kini ia seakan terpaksa menelan kalimat temannya itu. Ia membutuhkan uang. Biaya kos sudah menunggak tiga bulan dan induk semangnya yang berwajah menyebalkan itu semakin rajin mengganggu tidurnya dengan menggedor pintu kamar dan menagih uang sewa. Tidur yang hanya satu-dua jam setiap harinya itu pun semakin terasa sia-sia, sebab begadang semalaman tak memberi Are pencerahan. Kata-kata yang keluar dari jemarinya terasa basi. Itu pun lebih sering tak keluar sama sekali.
Aku butuh inspirasi, batinnya.
Tiba-tiba ia teringat perempuan yang bertemu dengannya di perpustakaan kota. Are meraih ponselnya. Ponsel keluaran lama. Mungkin sudah tidak diproduksi lagi, dan dihargai sangat murah jika dijual. Are memencet beberapa tombol, lalu menempelkan ponsel ke telinganya. Ia menunggu.
“Halo? Hei. Are. Ada apa?”
Suara perempuan di seberang telepon terdengar merdu. Seperti suara seorang penyiar radio. Namun nadanya tampak sedang lelah.
“Maaf, mengganggu tidurmu.”
“Ah, kamu tahu aku belum tidur. Ini baru pukul tiga.”
Sesungguhnya, Are benar-benar tidak tahu perempuan itu belum tidur. Ia juga tidak tahu bahwa ia baru saja menelepon orang pada pukul tiga dini hari. Kalau yang ia telepon bukan perempuan itu, pasti ia sudah dimaki-maki.
“Aku lapar. Mau cari makan di luar. Kamu mau ikut?”
“Ah, yaa… Aku juga lapar sekali. Uh. Perutku sudah berteriak-teriak dari tadi. Tapi jam segini hanya ada rumah makan cepat saji, ya?”
“Tak ada pilihan lain.”
“Aku tunggu di luar kosku, ya. Jangan ngebut, santai saja. Jaket kamu jangan lupa dipakai.”
Are menutup telepon. Rumah kosnya tak seberapa jauh dari rumah kos perempuan itu. Hanya sekitar lima belas menit naik motor. Sejak pertemuan pertama dan perkenalan mereka dua bulan lalu di perpustakaan kota, Are dan perempuan itu menjalin komunikasi. Tidak begitu intens. Hanya saat Are hendak meminjam atau mengembalikan buku, atau mengajak perempuan itu makan siang. Kadang juga ia mengajak perempuan itu keluar makan pada jam-jam dini hari seperti ini. Ini yang ketiga kalinya.
Setelah mengganti celana pendeknya dengan blue jeans, Are menyambar jaket yang bergantung di balik pintu kamar. Ia mengenakannya. Ia meraih tas ransel butut dan memasukkan laptop tuanya ke dalam. Matanya menangkap buku yang ia baca tadi sore terbaring di atas meja kerjanya. Buku yang ia pinjam dari perempuan itu, yang pada halaman pembukaan bab tiga yang bertajuk “Rindu” terselip sehelai bulu mata, entah milik siapa.
Are memasukkan buku itu ke dalam tasnya.
***
Meski telah membungkus tubuhnya dengan jaket yang cukup tebal, dingin angin malam masih menembus ke dadanya juga. Are merapatkan jaketnya dan memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jaket. Di depannya, ada perempuan itu. Ia tampak begitu khusyuk menyeruput secangkir kopi hitam, lalu membetulkan helai rambutnya yang terjatuh ke permukaan meja. Dengan gerakan yang lembut dan menawan, perempuan itu mengikat rambut panjangnya dan membentuknya menjadi seperti sanggul kecil.
“Apa yang sedang kamu tulis?”
“Entah. Aku kehabisan ide. Buntu.”
“Jatuh cinta lah.”
“Hah?”
“Jatuh cinta lah. Kamu pasti akan dapat banyak ide.”
“Mustahil. Jatuh cinta malah bikin kepala seseorang semakin buntu.”
Perempuan itu menyunggingkan senyum. Sekali lagi menyeruput kopi hitam di hadapannya yang masih mengepul asapnya. Are memperhatikan wajah perempuan itu. Setelah beberapa pertemuan (yang hanya singkat), ia baru sadar, perempuan itu mirip betul dengan Milana, perempuan yang meninggalkannya demi lelaki lain yang dipilihkan untuknya. Ia bahkan takkan heran seandainya perempuan itu tiba-tiba berkata bahwa dirinya adalah saudara kembar Milana.
“Kamu sudah membaca buku yang aku pinjamkan itu?” tanya si perempuan.
“Oh, ini?” Are mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya, dan meletakkannya di atas meja. “Aku belum selesai. Tapi sejauh ini aku suka. Mellow sekali kisahnya.”
Perempuan itu meraih buku tersebut dengan tangan kirinya. Pada lengan perempuan itu, Are melihat semacam tato. Tidak begitu jelas bentuknya. Sepertinya sebuah kalimat dalam bahasa asing. “Setiap berada di antara tumpukan buku,” si perempuan berbicara seraya membuka-buka halaman buku tersebut di depan wajahnya seolah sedang membaca, “aku selalu merasa bahwa aku sedang berada di dalam surga.”
“Aku pun!” Are berseru. “Heran sekali, perpustakaan banyak yang sepi.”
“Tapi toko buku masih ramai.”
“Tetap saja. Bagaimana mungkin orang-orang tidak berminat. Sudah gratis, bisa baca di tempat dengan nyaman. Dan banyak buku-buku penting yang tidak perlu membayar untuk membacanya.” Are meminum kopinya, dahinya berkerut. “Kalau aku punya nyali, sudah kucuri perpustakaan-perpustakaan itu. Daripada tersia-siakan.”
“Atau dibom saja. Seperti para teroris itu.”
“Ya, dibom saja.”
“Kamu lihat televisi belakangan?”
“Jarang. Aku tidak begitu suka menyaksikan berita-berita yang penuh rekayasa.”
“Aku lihat di televisi. Sedang marak penangkapan teroris ya?”
“Oh, ya, kalau itu aku sempat mengikuti. Cukup menarik melihat bagaimana aparat berusaha membuat masyarakat percaya bahwa yang mereka tangkap itu adalah teroris betulan.”
“Jadi menurutmu berita tentang teroris itu juga rekayasa?”
“Negara akan melakukan apapun untuk mengalihkan perhatian masyarakat terhadap kasus-kasus dan isu yang lebih penting.”
Perempuan itu menyeruput kopinya lagi. Ia memegang cangkir dengan kedua tangannya. Seolah hendak memeluk tubuh cangkir yang hangat itu dan berusaha menyerap panas cangkir ke telapak tangannya yang putih dan tampak halus. Are memperhatikan sekali lagi garis-garis wajah perempuan itu. Betul. Perempuan itu mirip sekali dengan Milana. Apakah perempuan itu memang Milana? Sepertinya tidak mungkin. Sebab kalau iya, pastilah Are sudah mengenal perempuan tersebut sebagai Milana. Atau sebaliknya, perempuan tersebut mengenal Are sebagai mantan kekasihnya yang telah ia tinggalkan. Tetapi pertemuan pertama mereka di perpustakan kota dua bulan yang lalu adalah pertemuan dua orang asing. Mereka saling mengenal sebagai teman yang baru.
“Kamu sendiri, apa yang sedang kamu kerjakan?”
“Tidak ada yang istimewa. Hanya menggambar beberapa rencana bangunan.”
“Ah, ya. Kamu arsitek? Aku melihat buku yang kamu pinjam di perpustakaan saat pertama kali kita bertemu. Bangunan apa yang sedang kamu gambar?”
“Ada seorang konglomerat yang ingin membangun sebuah perpustakaan pribadi. Cukup besar, dan waktu yang diberikan sangat mepet. Jadi, aku harus begadang setiap hari untuk menyelesaikannya.”
“Aku takjub masih ada konglomerat yang tertarik dengan perpustakaan.”
Perempuan itu tersenyum. Angin dini semakin terasa menusuk. Are bersidekap, berusaha menghalau rasa dingin yang kian menyusup ke dalam tubuhnya. Perempuan di depannya mengangkat sebelah tangan, melihat ke arah arloji kecilnya. Lalu, untuk yang terakhir kalinya, ia menyeruput kopi hitam di depannya. Kali ini ia meraih cangkir hanya menggunakan sebelah tangan. Ia meletakkan cangkir kopi kembali ke atas meja, lalu beranjak dari kursi.
“Sudah pagi. Pulang, yuk?”
Are melihat arlojinya. Hadiah ulang tahun dari Milana. Ia mengenakan benda itu di tangan sebelah kiri. Pukul lima lebih dua puluh lima. Matanya pun sudah terasa sepat, tapi tak ada satu pun ide tulisan tersangkut di kepalanya. Sial, pikirnya. Ia pun memutuskan untuk pasrah dan berencana untuk tidur setelah mengantar perempuan itu pulang.
“Berita penangkapan teroris itu bisa jadi ide cerita yang bagus, lho.” Perempuan itu tiba-tiba menceletuk. Mereka sedang berjalan menuju parkiran motor.
“Ah, kenapa tidak pernah terpikir olehku? Ya, ya… Sepertinya menarik.” Are naik ke atas motornya dan meloloskan kunci ke dalam lubang, kemudian menyalakan mesin. “Cerita cinta tentang sepasang kekasih, namun si perempuan tidak tahu bahwa ternyata kekasihnya adalah seorang teroris. Lalu…”
“Sudah. Teruskan saja di kos nanti,” kata perempuan itu, tertawa kecil melihat semangat Are yang tiba-tiba muncul setelah mendapat ide tentang teroris darinya.
***
Are terbangun di atas kasur dengan seprei yang berantakan, bantal kepala dan bantal guling yang entah ke mana, dan buku-buku berhamparan di atas lantai di sebelahnya-seperti biasa. Ia menguap sekali dan lebar. Ia mengerjapkan mata, memicing, melihat jarum penunjuk waktu pada jam meja kecil di ujung kasurnya. Pukul sebelas siang. Ia berencana untuk menghabiskan waktunya di perpustakaan kota hari ini. Mencari inspirasi untuk tulisannya. Mungkin sampai malam.
Ide cerita tentang teroris yang keluar dari celetukan perempuan itu terdengar menarik baginya. Memang, selama ini ia selalu menulis kisah cinta yang semakin lama semakin terasa membosankan. Namun, jikalau ia harus menulis kisah selain cinta, tulisannya seperti sulit untuk laku. Tapi dengan ide tentang teroris itu, ia tetap bisa menulis kisah romansa, dengan dibungkus isu yang sekarang sedang marak ditayangkan di televisi. Ia percaya diri, dapat menembus koran nasional dengan menggunakan ide kisah romansa teroris ini. Brilian.
Are bangkit dari kasurnya yang sudah tipis. Ia melangkah ke pintu dan menyambar handuk putih kusam yang bertengger pada gantungan. Ia melihat televisi tabung empat belas inci yang duduk di atas meja rendah di dekat kasurnya. Sudah lama ia tak menyalakan benda tersebut. Percakapannya dengan perempuan itu beberapa jam yang lalu membuat ia ingin menyaksikan sesuatu di televisi. Mungkin ada yang bisa membuatnya terinspirasi. Berita-berita mengenai penangkapan teroris itu, misalnya, mungkin dapat memberinya informasi lebih untuk ide cerita yang akan ia tulis nanti. Meskipun ia sendiri telah yakin bahwa peristiwa penangkapan yang sedang gencar itu adalah rekayasa aparat semata.
Dengan handuk di pundak, Are pun jongkok di depan televisi itu, menyalakannya dengan memencet tombol pada televisi tersebut sebab remotnya telah lama rusak dan ia sama sekali tak berniat untuk memperbaikinya atau menggantinya dengan remot baru. Beberapa kali penjual remot keliling melewati kosnya, namun ia tak tergerak untuk memanggil penjual dan mengganti remot televisi yang rusak.
Layar televisi yang agak berdebu itu menunjukkan sebuah gambar. Tayangan berita dalam negeri, namun tajuk acaranya ditulis dengan menggunakan bahasa Inggris. BREAKING NEWS. Pembaca berita yang tampak anggun dengan kemeja rapi dan pemulas wajah yang tebal membacakan berita dengan intonasi khas pembaca berita. Are mendengarkan dengan seksama, anehnya.
Pembaca berita yang cantik itu mengatakan bahwa baru saja telah terjadi sebuah ledakan bom di perpustakaan kota, sekitar lima menit yang lalu. Are terperanjat. Lekas ia memencet tombol volume agar suara televisi lebih nyaring terdengar. Matanya memicing, menangkap gambar yang sedang ditayangkan. Tampak perpustakaan kota yang sudah diselimuti api dan asap hitam yang membubung tinggi. Gila. Kalau ia berangkat lebih awal ke perpustakaan, beberapa menit lebih awal saja, ia bisa jadi korban dalam ledakan itu.
Si perempuan cantik pembaca berita melanjutkan, tak ada korban jiwa dalam peristiwa ledakan. Ada satu kejadian yang aneh sebelum ledakan terjadi, seperti dituturkan oleh seorang saksi. Saksi tersebut adalah salah seorang pengunjung perpustakaan, yang mendapat sepotong kertas kecil bertuliskan sebuah kalimat pendek: “Keluar sekarang juga.” Saksi mengatakan ia tidak tahu dari mana datangnya sepotong kertas itu, atau siapa yang menulis. Ia hanya menemukan kertas tersebut di atas mejanya saat ia baru hendak membaca buku. Ketika ia menoleh ke kiri dan kanan, ia mendapati pengunjung perpustakaan yang lain juga tampak kebingungan seperti dirinya. Ternyata, pengunjung lain mendapatkan sepotong kertas yang serupa. Berisikan tulisan yang sama. “Keluar sekarang juga.”
Awalnya, saksi cuek saja. Namun, saat mulai membaca buku, ia mendengar sayup-sayup seperti suara detak jarum jam, namun agak beda. Tik, tik, tik… Ia bisa mendengar suara itu. Tik, tik, tik… Ia menoleh ke pengunjung perpustakaan yang lain. Masih tampak raut bingung di wajah mereka karena sepotong kertas misterius itu. Bahkan, beberapa terlihat cemas. Akhirnya, satu-dua orang melangkah saja keluar perpustakaan tanpa tahu apa maksud sebenarnya dari kertas itu dan siapa yang menulisnya dan untuk apa. Si saksi, ikut-ikutan cemas sebab ia mendengar suara tik, tik, tik… itu. Seperti suara, bom? Pikirnya. Tetapi, ah, tidak mungkin, ia membatin. Namun kemudian ia teringat akan berita-berita penangkapan teroris di televisi. Jaringan teroris internasional yang dalam beberapa bulan belakangan mulai terungkap dan diburu akibat kasus bom bunuh diri (maupun yang tidak bunuh diri) di beberapa kota. Suara seperti detak jarum jam (kini ia yakin suara itu bukan jarum jam, tapi suara bom waktu) semakin nyaring di telinganya. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk menyusuri sudut-sudut perpustakaan. Suara tik, tik, tik… itu cukup jelas, berarti jikapun ada bom, benda tersebut tak terletak terlalu jauh.
Betul saja. Saat saksi menyusuri rak buku demi rak buku (ia mengikuti suara tik tik tik itu), ia mendapati satu titik pada sebuah rak buku di mana suara tersebut semakin keras terdengar. Ia menyingkirkan sebuah buku. Dan, olala, ia melihat rangkaian kabel melekat pada sampul belakang sebuah buku dalam barisan buku-buku yang rapi itu. Ada jam digital pula menempel bersama kabel-kabel tersebut. Jam menunjukkan detik 00:15 dan terus menghitung mundur. Mata saksi terbelalak, lekas ia berlari keluar perpustakaan sambil berteriak, “Ada bom! Ada bom! Keluar semua, keluar!”
Are masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia meraih ponsel yang tergeletak di pinggir kasur, dan menghubungi perempuan temannya yang berbincang-bincang bersamanya tadi malam. Ingin tahu apakah si perempuan sedang menyaksikan berita di televisi. Are menempelkan ponsel di telinga. Nada sibuk. Ia mencoba lagi. Tetap nada sibuk. Dahinya berkerut. Tidak biasanya perempuan itu mematikan ponsel. Setidaknya, seingat Are, perempuan itu selalu mudah untuk dihubungi.
Berita ledakan masih terus ditayangkan di televisi. Sepasang mata Are tak lepas dari layar. Pembaca berita memberi informasi lain seiring gambar perpustakaan penuh api dan asap yang belum berhasil dipadamkan sepenuhnya oleh pemadam kebakaran.
Pikiran Are terbelah dua. Antara memikirkan perpustakaan kota yang baru saja meledak, dan perempuan itu yang tidak bisa ia hubungi. Are hendak mendatangi kos perempuan itu, tetapi baru saja ia berdiri dan hendak mengganti pakaian, ponselnya berbunyi. Are melihat layar ponselnya. Nomor tak dikenal. Mungkinkah perempuan itu?
“Halo?”
“Hai, Are. Lama tidak ngobrol, ya.”
“Milana?”
“Tenang saja. Seperti yang kamu lihat di televisi, tidak ada korban jiwa. Buku-buku yang terbakar pun bukan buku-buku asli. Semuanya kopian, bajakan. Buku-buku yang asli seluruhnya selamat, dan kini sudah berada di tempat yang tepat.”
“Apa maksudmu? Hei, Milana?”
Panggilan terputus.
Are buru-buru memencet tombol panggil dan menghubungi nomor tak dikenal barusan. Sembilan tahun tak ada kabar dari Milana. Mantan kekasihnya itu. Ia pun tak berniat untuk menghubunginya, setelah ia tahu Milana kini bersuamikan seorang dokter bedah. Di lain sisi, Milana pun tak pernah menghubunginya. Namun, sekarang, di tengah peristiwa yang masih tak ia percaya telah terjadi, tiba-tiba saja Milana menghubunginya dan mengucapkan kalimat-kalimat yang ia tak mengerti. Tak ada korban jiwa? Buku-buku yang terbakar? Apa maksudnya...
Nada sibuk terdengar saat Are mencoba menghubungi nomor Milana. Sialan, ia mengumpat dalam hati. Beberapa saat kemudian, ponselnya berbunyi lagi. Kali ini sebuah pesan singkat telah masuk. Dari nomor yang lain lagi. Pula nomor yang tak terekam dalam memori ponsel Are.
Hai, Are. Kamu suka buku yg kupinjamkan?
Belum sempat Are membalas, pikirannya telah menerawang bebas.Di televisi, masih berlangsung berita ledakan di perpustakaan. Kali ini api telah sepenuhnya padam, namun asap masih membumbung tebal. Orang-orang masih berkerumun di pinggir-pinggir jalan, menonton peristiwa yang menyedot perhatian itu.
Are membaca pesan di layar ponselnya. Mendengar pembaca berita membacakan peristiwa ledakan. Membiarkan pikirannya melayang kepada perempuan yang baru ia kenal dua bulan lalu dan meminjaminya sebuah buku dan kini menghilang. Memikirkan Milana.
Milana…
***