Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all articles
Browse latest Browse all 402

Kisah Proses Penulisan “Cinta. (baca: cinta dengan titik)”

$
0
0

Semuanya bermula dari sebuah pesan singkat yang masuk di ponsel saya, pada suatu malam di bulan September 2012 silam. Pesan itu datang dari seorang teman perempuan. Saya membacanya dengan seksama. “Bara, kamu lagi sibuk nggak? Aku mau curhat.”, bunyi pesan itu. Karena saya merasa tidak sedang sibuk, saya balas pesan itu dengan, “Nggak kok. Ayo, kapan? Di Dunkin, besok?” Lalu teman saya membalasnya lagi, “Oke, besok malam ya. Jam delapan? Oh, Bara. Kamu harus bikin novel dari curhatanku ini.”
 
Kamu harus bikin novel dari curhatanku ini, katanya.
 
Saya agak terkejut memang mendapatkan pesan teks dari teman perempuan saya itu. Karena ini baru pertama kalinya ia mengirim pesan kepada saya dengan nada yang urgent. Seperti ia harus segera menyampaikan sesuatu. Kami sudah saling mengenal selama hampir setahun, dan baru kali ini ia mengirimkan pesan teks seperti itu.
 
Keesokan harinya, kami bertemu di tempat yang sudah disepakati pada malam sebelumnya, di sebuah kedai donat 24 jam yang terletak di jantung kota Yogya. Saya mendapati dia sudah duduk di satu sudut, menyambut saya dengan senyum lebar. “Hai, Bara!” sapanya. Saya membalas senyumannya dan mengambil kursi di hadapannya.
 
“Jadi, gimana? Apa yang ingin kamu ceritakan?” Saya bertanya, setelah basa-basi singkat tentang bagaimana kabar dia dan dia bertanya kepada saya bagaimana kabar saya dan kesibukan apa yang sedang saya jalankan.
 
“Kamu harus bikin novel dari curhatanku.” Jawabnya sambil tertawa.
 
“Ya, aku tahu. Tapi cerita dulu.” Saya berharap ia akan menceritakan sesuatu yang menarik dan memang layak untuk saya tulis menjadi sebuah novel. Dan, kebetulan, ketika itu saya sedang mencari ide untuk menulis novel baru saya.
 
Ia pun mulai bercerita. Saya mendengarkan dengan seksama. Belum seberapa jauh, saya sudah bisa menebak arah dari ceritanya. Dan, hanya sekitar sepuluh menit kemudian, tiba-tiba ia berkisah sambil mengeluarkan airmata. Saya sedikit terkejut, tapi saya tak berusaha untuk menenangkannya. Saya tatap saja matanya dan terus mendengarkan ia bercerita.
 
Merangkum kisahnya, teman perempuan saya itu sedang berada pada posisi yang tidak enak dalam sebuah hubungan. Ia sedang menjadi selingkuhan. Ya, selingkuhan. Ia sedang menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain. Ia berkata kepada saya, ia tidak tahu mengapa ia bisa terjerumus dalam situasi seperti itu. Ia tidak pernah berniat untuk merecoki hubungan orang lain. Lelaki yang ia cintai bahkan sudah memiliki seorang tunangan. Saya hanya menimpali ceritanya dengan sesekali bertanya “Mengapa?” Ia hanya menjawab, “Aku nggak tahu.”
 
Terus terang saya katakan, sekali waktu saya pun pernah menjadi selingkuhan. Dan, kebanyakan orang menganggap bahwa dalam sebuah perselingkuhan, si selingkuhan adalah satu-satunya pihak yang patut disalahkan. Seolah-olah si pelaku selingkuh tidak bersalah karena ia hanya sedang khilaf, dan yang diselingkuhi sama sekali suci sebab ia adalah korban. Saya katakan, bahwa saya pernah berada di ketiga posisi tersebut. Saya pernah selingkuh, saya pernah diselingkuhi, dan saya pun pernah menjadi selingkuhan. Dan, kesimpulan saya adalah, ketiga pihak tersebut sama-sama bisa disalahkan.
 
Setelah mendengar curhatan dari teman perempuan saya itu (tak jarang ia berkisah sambil menangis), saya memutuskan untuk mulai mencatat ceritanya. Saya katakan kepada dia, bahwa mungkin saya akan menulis kisahnya menjadi sebuah novel. Tentu saja dengan menggunakan tokoh-tokoh dan profesi yang lain dari yang sebenarnya. Namun, pada intinya peristiwanya adalah sama. Ide utama novel yang akan saya tulis adalah tentang perselingkuhan. Tokoh utamanya adalah si selingkuhan. Saya akan berkisah tentang perselingkuhan dari mata si selingkuhan. Tujuan saya menuliskan kisah ini adalah untuk membuka mata kebanyakan orang yang mengira bahwa dalam sebuah perselingkuhan, satu-satunya pihak yang patut disalahkan adalah si selingkuhan. Untuk membuka mata mereka lebar-lebar bahwa sebuah masalah harus dilihat dari berbagai sudut pandang. Dan untuk mengajak mereka agar tidak buru-buru menghakimi seseorang.
 
Selama dua bulan, saya mengumpulkan data dan materi untuk novel ini. Termasuk menggelar sesi curhat lanjutan sambil saya mewawancarai teman perempuan saya itu. Saya pun beberapa kali melempar survey lewat akun Twitter tentang tema yang akan saya tulis, yakni perselingkuhan.
 
Pada bulan November 2012, saya mulai menulis sinopsis, outline, prolog, dan bab pertama. Empat hal tersebut rampung pada pertengahan bulan. Saya pun melanjutkan menulis. Rencana jumlah bab adalah 15 bab, di luar prolog dan epilog. Saya tidak mengalami kesulitan yang berarti selama proses penulisan Love Is Right- judul awal manuskrip novel ini- sebab saya sendiri pernah mengalami kisah seperti yang sedang saya tulis.
 
Draf pertama selesai dalam waktu tak lebih dari tiga minggu. Rekor tercepat saya menyelesaikan sebuah novel. Draf yang masih kasar tersebut setebal 145 halaman Word spasi 1, ukuran huruf 12. Saya bangga mampu menulis sepanjang itu. Sebab saya belum pernah melakukannya.
 
Saya mengirim draf pertama ke Iwied, editor saya di Bukune, pada bulan Desember 2012. Saya memperkirakan, jika semuanya lancar, novel saya sudah bisa terbit pada bulan April 2013. Namun ternyata yang terjadi tidak seperti yang saya perkirakan. Naskah Cinta. bertahan cukup lama di penerbit. Hingga pada akhirnya saya baru menerima catatan revisi dari Iwied awal Mei 2013. Saya syok, karena draf pertama saya mendapat banyak sekali catatan poin revisi. Saya menghitungnya, tak kurang dari dua ratus poin revisi. Fyuh!
 
Saya lalu melakukan seperti yang biasanya saya lakukan setiap saat menerima catatan revisi naskah: saya menutup laptop, meninggalkan naskah tersebut, tak menyentuhnya sama sekali. Saya pergi ke bioskop, menonton film. Saya pergi ke kafe, membaca buku atau sekadar duduk-duduk minum kopi dan berbincang-bincang bersama teman-teman. Saya menyegarkan kepala terlebih dahulu, sekaligus untuk menenangkan diri yang syok mendapatkan dua ratus lebih poin revisi.
 
Akhirnya, setelah hampir dua minggu menelantarkan naskah tersebut, saya kembali membuka laptop dan mulai mengerjakan satu per satu poin revisi. Revisi berjalan hingga bulan Juli. Jika tidak salah ingat, naskah Cinta. mengalami tak kurang dari tujuh atau delapan kali bolak-balik revisi. Bahkan hingga sudah di-layout pun, Cinta. masih sempat direvisi. Tahap inilah yang paling menjengkelkan buat saya, lebih melelahkan daripada menuliskan draf pertamanya. Namun, saya sudah pernah melalui ini, dan saya yakin saya bisa melaluinya. Akhirnya, revisi pun selesai dan novel siap terbit pada akhir bulan Juli.
 
Masalah berikutnya adalah menentukan desain cover dan blurb. Cukup lama hingga akhirnya saya dan tim redaksi Bukune, penerbit Cinta., bersepakat dengan cover dan blurb yang ada sekarang. Proses penentuan dua hal penting tersebut memakan waktu hampir satu bulan. Hingga akhirnya Cinta. siap naik cetak, dan terbit pada bulan Agustus 2013.
 
Saya senang dengan novel saya yang kelima ini, Cinta., sebab di novel ini setidaknya saya telah berhasil menjawab dua tantangan yang saya tujukan untuk diri saya sendiri. Pertama, tantangan untuk menulis naskah novel yang lebih tebal dari yang sebelumnya. Kedua, tantangan untuk menulis dari sudut pandang perempuan (tokoh utama di dalam Cinta. adalah seorang perempuan), yang belum pernah saya lakukan.
 
Saya berharap, semoga Cinta. dapat diterima oleh para pembaca. Semoga Cinta. dapat menjadi bacaan yang menghibur, dan memberikan sesuatu yang berbekas pun berarti di diri para pembaca. Sebab, tentu saja, karena saya mengerjakan Cinta. dengan penuh cinta, maka saya berharap semoga para pembaca membaca Cinta. dengan penuh cinta pula.
 
Terima kasih. Selamat membaca Cinta.



- Bernard Batubara

#VirtualBookTour #CintadenganTitik


Viewing all articles
Browse latest Browse all 402