Ketika kamu mencintai seseorang, sulit membayangkan hidupmu tanpa dirinya. Di pikiranmu, hanya ada satu kehidupan, yakni kehidupan yang di dalamnya ada dia. Tidak ada versi lain. Tidak mungkin ada. Tetapi saya katakan dengan tegas: kamu bisa hidup tanpa orang yang kamu cintai.
Sebagai orang yang perasa, rasa-rasanya mustahil kalimat barusan terlontar dari mulut saya. Keterikatan emosional membuat saya benar-benar bergantung pada hubungan yang sedang saya miliki. Namun, pengalaman lima kali pacaran telah membuktikan bahwa betapapun saya berkata tidak bisa hidup tanpa seseorang yang sangat saya cintai, pada akhirnya saya bisa. Saya masih bernapas setelah kehilangan. Saya masih berkarya. Saya bahkan kembali berbahagia.
Seorang teman pernah berkata, ketika mencintai seseorang, kamu adalah budak. Kamu menjadi budak bagi perasaanmu sendiri. Bagi rasa takut kehilangan, yang membuatmu melakukan apapun yang diperlukan demi mempertahankan orang yang kamu cintai. Walau kamu tahu hubunganmu dengan dia tidak berkembang ke arah yang lebih baik, kamu tetap akan mempertahankannya, karena kamu takut kehilangan. Kamu tidak ingin membayangkan rasanya terbangun di pagi hari tanpa sapaan “Selamat pagi…” atau telepon dari seseorang yang bermakna bagimu.
*
Cinta membawa jebakan-jebakannya sendiri. Mereka bilang kamu tidak boleh melepaskan seseorang yang mencintaimu dan kamu cintai. Benarkah begitu? Apa mereka tahu bahwa dua orang bisa saling mencintai dan melukai sekaligus? Bagaimana dengan cinta dan hubungan yang seperti itu, apakah kita tetap harus mempertahankannya? Kalau iya, untuk berapa lama? Seumur hidup?
Bagi saya, sebuah hubungan (relationship) sama seperti kehidupan itu sendiri, harus tumbuh dan berkembang. Mulai dari bibit, tunas, berbatang, berbunga, dan berbuah. Setelah berbuah, ia tetap tumbuh: memperkuat batang, memperdalam akar, melebatkan daun-daun, dan menyuburkan bunga-bunga dan buahnya. Tak boleh stagnan. Hubungan yang stagnan seperti tanaman yang gagal berkembang. Mencintai seseorang saja sudah tindakan gila. Mempertahankan hubungan yang stagnan, itu lebih gila.
Contoh hubungan yang stagnan: masalah serupa muncul berulangkali. Bahkan keledai hanya jatuh dua kali di satu lubang (pada beberapa keledai lain mungkin lebih). Tentu saya tidak ingin menjadi keledai dan punya hubungan yang seperti keledai. Saya ingin berada dalam hubungan yang, jikapun ada masalah (dan pasti ada masalah; hubungan yang tak ada masalah bukanlah sebuah hubungan) selalu berbeda dari waktu ke waktu, dan lebih esensial.
Kata Agnes Monica, cinta kadang-kadang tak pakai logika. Amin. Tapi, pada suatu titik saya akan mengambil lagi otak yang saya tinggal di dalam lemari pakaian, dan menimbang-nimbang apakah cinta ini masih layak dipertahankan? Apakah hubungan dengan pacar saya ini masih bertumbuh dan berkembang? Ataukah sudah mentok dan berputar-putar lagi di masalah yang itu-itu saja? Apakah kami berdua bisa tidak lebih saling menyakiti lagi di masa depan?
*
Hubungan terakhir saya bertahan dua setengah tahun. Dia perempuan luar biasa dan menyenangkan. Dia senang membaca buku, gemar menulis, menyukai sastra sebagaimana diri saya. Dia seperti anak kecil yang manja, manis, menggemaskan di waktu-waktu tertentu, dan menjadi perempuan dewasa bijak dan tenang di waktu-waktu lain. Dia Scorpio, memahami sepenuhnya sifat sensitif dan tingkah aneh seorang Cancer seperti saya. Hanya dia yang mengerti cara saya berpikir, dan hanya dia yang tertawa pada lawakan-lawakan absurd saya.
Saya sangat mencintainya sebagaimana dia mencintai saya.
Tetapi saya tetap harus melepaskannya, sebagaimana dia melepaskan saya.
“Kamu bisa mencintai sesuatu dan tetap harus membiarkannya pergi.” Itu dialog seorang figuran dalam cerita pendek seorang penulis Israel yang saya sukai. Saya termenung membaca kalimat itu. Ternyata cinta tidak memberi legitimasi pada kita untuk terus-terusan mempertahankan seseorang, sehingga pertanyaan aneh seperti: “Kok kalian putus? Kan, masih sayang.” harusnya masuk ke dalam kitab daftar hal-hal usang yang tidak relevan, sejenis dengan pertanyaan kapan kawin.
Mencintai adalah satu hal, berada dalam relationship hal lain. Kamu tidak bisa cuma bermodal cinta untuk punya hubungan langgeng sampai mati. Saya cinta pacar saya, tetapi saya tidak bisa menghindari hal-hal yang melukainya. Begitu pula dengan dia. Pada awalnya kami masih percaya diri bisa menangani masalah ini. Tetapi selalu ada akhir bagi sesuatu, termasuk daya tahan dan kesabaran.
Mencintai seseorang sembari terus-terusan melukainya adalah bentuk terburuk dari cinta. Kamu bisa berada di posisi keduanya: yang dilukai atau melukai. Saya, barangkali, mengambil peran yang terakhir. Saya tidak bisa melihat pacar saya bersedih karena saya tidak mampu mengontrol pikiran-pikiran saya. Saya tidak ingin memerangkapnya dengan asumsi-asumsi dan ketakutan saya sendiri. Saya tidak mau menarik kakinya, apalagi mematahkan sayapnya yang sedang terbang ke tempat-tempat yang lebih jauh dan dia inginkan.
Saya ingin dia terus terbang tinggi, tetapi barangkali lebih baik jika dia terbang tanpa saya.
*
Penting bagi saya mengambil waktu untuk merenungi hubungan yang sedang saya miliki. Salah satu pertanyaan yang akan saya ajukan ke diri sendiri adalah: apakah saya menghambat ia bertumbuh? Jika ya, barangkali saatnya menguatkan hati dan melepaskannya pergi. Mungkin jatah perjalanan saya dengannya sampai di sini saja. Tentu saja pertanyaan tadi bisa dibalik. Apakah dia menghambatmu bertumbuh?
Ada banyak keputusan berat yang harus diambil sepanjang hidup, salah satu dari yang paling berat adalah melepaskan seseorang yang kamu kira sudah terbaik. Kamu tidak bisa membayangkan ada orang yang lebih memahami ambisi dan mimpi-mimpimu sekaligus terhibur oleh lawakan-lawakanmu yang garing. Tidak ada orang yang lebih bisa menggila, membicarakan hal remeh-temeh, sekaligus mendiskusikan makna kehidupan selama berjam-jam di telepon denganmu.
Namun, saat keputusan harus diambil, jadilah orang berani. Tentu saja rasanya sakit. Hanya orang bodoh atau punya kelainan fungsi saraf-saraf sensorik yang bisa bilang putus cinta dan patah hati rasanya biasa saja. Kamu tidak akan baik-baik saja. Kamu akan bersedih ketika genggamanmu pada akhirnya harus kamu kendurkan, dan lepaskan. Tetapi untuk sembuh, peluru di paha prajurit harus dicungkil besi panas dan kaki yang terkena ranjau musti diamputasi.
Tidak ada yang lebih melegakan daripada membuang racun di tubuhmu. Kamu juga harus paham jangan-jangan kamu yang jadi racun bagi dia. Jika kamu telah menyadarinya dengan baik, jangan berlama-lama. Segera lepaskan. Kamu tidak berhak memerangkap seseorang yang kamu cintai dalam hubungan yang tidak membuatnya bertumbuh, begitu pula sebaliknya.
Seperti seorang prajurit yang tubuhnya bersarang belasan peluru, kamu akan tetap hidup setelah peluru-peluru itu dicungkil dan dibuang. Sakit, hampir mau mati, bahkan kamu berharap nyawamu dicabut-tetapi kamu akan bertahan. Kamu akan melihat kehidupan lain yang di dalamnya tidak ada orang yang kamu cintai. Kehidupan dalam bentuk yang sedikit berbeda. Kehidupan yang jangan-jangan lebih indah dan lebih baik bagimu, juga bagi dia.
***