Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all articles
Browse latest Browse all 402

Insomniac City, Bill Hayes

$
0
0



Enggan melupakan sesuatu tidak sama dengan berharap mengingatnya lebih baik. Saya menebak bahwa Bill Hayes, kolumnis The New York Times, menulis berbagai peristiwa yang ia alami selama enam tahun hidup di New York dalam buku memoar yang bagus, Insomniac City (2017) untuk memberitahu pembaca bahwa ia tak bermaksud semakin mengingat adegan-adegan itu, melainkan sekadar tidak melupakannya. Namun, kalau dipikir-pikir lagi, di mana batas antara mencatat sejarah dan mempertajam memori? Bagaimana kita tahu di mana jurnal berakhir, dan nostalgia dimulai?

Sebelum membaca Insomniac City, saya tidak pernah tahu nama Bill Hayes. Suatu hari saya bicara di talkshow untuk buku terbaru dua orang teman, dan mereka memberi saya buku ini sebagai hadiah. Saya jarang baca memoar, jadi buku ini tidak masuk ke daftar prioritas membaca, jujur saja. Tapi kadang-kadang saya iseng mengambil buku secara acak dari koleksi di kamar, terutama jika tidak sedang tahu harus baca yang mana. Agak kurang menyangka, ternyata Insomniac City jadi salah satu buku terbaik yang saya baca melalui random-picking itu.

Insomniac City adalah buku kumpulan esei super pendek yang diselang-selingi catatan acak dari jurnal penulisnya. Bill Hayes, seorang homoseksual, menulis esei-esei yang sangat bagus tentang New York dan hubungan asmara dengan Oliver Sacks, neurolog dan ilmuwan Inggris. Sebagaimana Bill Hayes, saya pun tak tahu-menahu tentang Oliver Sacks hingga membaca buku ini. Dalam salah satu eseinya Bill Hayes juga menceritakan bagaimana ketika ia mengungkap orientasi seksualnya kepada ayahnya.

Itulah tema buku ini. Kota dan cinta. New York, Oliver Sacks, and Me, seperti ditulis Bill Hayes di bawah judul Insomniac City.

*

Bill Hayes membagi isi bukunya ke dalam tiga bagian, masing-masing diberi judul Insomniac City, On Being Not Dead, How New York Breaks Your Heart. Ia lebih banyak bercerita tentang dirinya di bagian pertama, tentang Oliver Sacks di bagian kedua, dan kehidupan orang-orang New York di bagian terakhir. Namun, tidak sekaku itu. Di tiap-tiap bagian selalu terdapat gagasan-gagasan kehidupan dari perspektif Bill Hayes sendiri, interaksinya dengan orang-orang New York, dan hubungannya dengan Oliver Sacks. Ketiganya berkelindan apik dalam rangkaian kalimat yang page turning.

Tak berapa lama sebelum membaca Insomniac City, saya sedang ingin mencoba menulis esei tentang kehidupan sehari-hari. Kolom-kolom pendek yang reflektif. Slices of life. Ada semacam perasaan rugi kalau tak mencatat apa-apa yang terjadi seharian meski tak semuanya menarik. Persoalannya, saya tak punya panduan. Ketika membaca tulisan-tulisan pendek Bill Hayes, saya merasa mendapat titik terang.

Dalam kalimat-kalimat ketat saya bayangkan ditulis ulang berkali-kali, Bill Hayes begitu jernih menyampaikan gagasan-gagasannya melalui apa yang ia amati. Ia menangkap dengan matanya pasangan muda di bangku taman, perempuan dan anak kecil di gerbong subway, pelanggan toserba, ia menggambarkan interaksi menggunakan pilihan kata yang tidak hanya akurat, tapi juga memberi makna yang luas. Adegan-adegan yang tadinya terasa hanya mungkin terjadi di New York, menjadi punya arti lebih umum, universal.

Ia mengidap insomnia akut, Bill Hayes, dan kerap menggambarkan New York sebagai refleksi dari dirinya sendiri. Kalau New York itu seorang pasien, tulisnya dalam bahasa Inggris, ia pasti mengidap yang namanya agrypnia excitata, kondisi langka yang dicirikan dengan insomnia, kejang-kejang, perasaan gugup; gambaran kota yang tak pernah tidur, tempat seseorang datang untuk menciptakan dirinya kembali.

*

Cukup lama saya sadar, kini sudah menerimanya sebagai kenyataan, bahwa hidup tidak memiliki makna di dalam dirinya sendiri. Kita tidak mencari makna karena hidup tidak menawarkannya. Kita menciptakan makna. Dalam kesadaran ini saya memperoleh kelegaan. Dalam kenyataan ini terdapat kebebasan, bebas menciptakan makna apapun yang saya inginkan untuk hidup saya. Bebas pula ingin menciptakan makna atau tidak.

Menulis, bagi saya, adalah cara untuk menciptakan makna tersebut. Menulis adalah cara memaknai hal-hal duniawi yang biasa, yang sepele. Yang mundane. Jika kita bukan tentara yang hidup di Gaza atau orang-orang yang menunggu bom di Palestina, hidup ini tidak selamanya memberi hal-hal yang besar, yang mengguncang, yang life-changing. Hidup bagi orang medioker, kelas menengah sedikit ngehe seperti saya sebagian banyak terisi hal-hal tak berarti. Menulis hal-hal tak berarti itu adalah cara untuk memandangnya dari perspektif lain, sambil menduga-duga ilham yang tersembunyi di baliknya.

Menulis adalah sebuah usaha mengungkap makna di antara serangkaian peristiwa sepele yang terjadi secara acak. Seperti ketika saya mengambil Insomniac City dari tumpukan buku di kamar. Tak harus ada penyebab, tapi konsekuensi selalu hadir. Esei-esei pendek di buku ini mengingatkan saya kembali akan pentingnya mencatat. Menulis apa saja yang terjadi, sesepele apapun kelihatannya. Suatu hari yang sepele di jurnal akan menjadi tujuan nostalgia. Memori yang terangkat ke permukaan untuk menceritakan ulang tentang hidup yang sudah kita jalani. Hidup yang kurang panjang, mungkin, tetapi cukup berarti. ***


Viewing all articles
Browse latest Browse all 402