-->
Saya selalu merasa buku bisa dinilai secara objektif. Dibedah, dimutilasi, dikorek isinya dengan sikap yang dingin. Dengan mata yang tak berbelas kasih. Isi buku dibaca, didekonstruksi, didakwa, menggunakan pisau kritik yang tak berjiwa. Tak peduli apakah buku tersebut sebetulnya mengandung hal-hal yang kita sendiri alami. Buku dalam beragam wajah dan sejarahnya, akan senantiasa tergeletak di atas meja operasi, berserah diri pada kesewenang-wenangan pembaca, sang dokter bedah.
Saya hanya pembaca, bukan kritikus sastra. Tidak punya gelar sarjana sastra. Tidak paham teori tentang karya sastra. Tidak punya pisau yang dibutuhkan untuk membedah karya sastra. Namun, sejujurnya saya pernah mencoba, tentu tanpa menyebut apa yang saya tulis sebagai sebuah kritik, tidak pernah. Saya hanya menulis ulasan. Awalnya saya mengira dapat membuat ulasan yang objektif, tapi lama-kelamaan saya merasa percuma saja mencoba. Buku akan selalu menjadi benda yang subjektif. Pembacaan atas buku akan sangat bergantung pada pengalaman pembacanya sendiri.
Saya semakin meyakini hal ini ketika membaca novel The Namesake, Jhumpa Lahiri. Ketika membacanya, saya menangis di beberapa bagian, cukup banyak. Saya yakin, saya menangis bukan hanya karena The Namesake ditulis dengan bagus, tapi juga, dan terutama karena bagian-bagian buku tersebut menyentuh pengalaman personal saya. Identitas, keadaan, dan kegelisahan karakternya mencerminkan identitas, keadaan, dan kegelisahan personal saya sebagai manusia.
The Namesake terbit tahun 2003 dalam bahasa Inggris; diadaptasi ke film tahun 2006 oleh Mira Nair. Meski lahir dari orangtua yang India, Jhumpa Lahiri tidak menulis dalam bahasa Bengali. Ia lahir di London lalu di usia yang ke 2 tahun pindah ke New York, Amerika. Ia melihat dirinya sebagai orang Amerika. Nama asli Jhumpa Lahiri terdengar sangat India, Nilanjana Sudeshna, tapi ia memilih dikenal dengan nama Jhumpa. Persoalan nama ini juga menjadi inti persoalan The Namesake. Novel yang bergerak karena sebuah nama.
The Namesake bercerita tentang keluarga muda imigran India di Amerika. Cerita dimulai dengan kelahiran seorang anak laki-laki dari pasangan tersebut, Ashoke dan Ashima Ganguli, anak yang diberi nama Nikhil Gogol Ganguli. Nama yang ganjil itu diambil dari nama penulis Rusia, Nikolai Valisievich Gogol atau yang dikenal dalam versi lebih ringkas, Nikolai Gogol. Ayah si anak itu, bernama Ashoke, akademisi, adalah penggemar karya-karya Nikolai Gogol.
Suatu hari, sebelum menikah dan memulai kehidupan keluarganya di Amerika, Ashoke mengalami peristiwa tragis, kecelakaan kereta api. Secara ajaib, buku Nikolai Gogol yang sedang dibacanya saat itu menyelamatkan hidupnya. Lantas, letika anak pertamanya lahir, persoalan memberikan nama menjadi hal pelik. Rumah sakit Amerika tempat istrinya bersalin butuh mereka segera menamai bayinya, tapi tradisi India menjadikannya lebih rumit. Untuk mempermudah urusan mereka, Ashoke menamai anaknya Gogol.
Di kemudian hari, ternyata nama Gogol ini menjadi persoalan yang pelik. Saking peliknya sampai-sampai Gogol Ganguli memutuskan untuk mengubah namanya, secara resmi. Menjadi Nikhil Gogol Ganguli. Memperkenalkan dirinya ke orang-orang sebagai Nikhil, bukan Gogol. Ia menyembunyikan Gogol, mengubur nama itu dalam-dalam, bersama amarah serta kejengkelan terhadap orangtuanya. Hingga kelak di usia yang ke-30 tahun, Gogo mulai memahami makna sebenarnya dari sebuah nama. Namanya.
Sebuah nama, yang hanya ia sendiri yang punya.
*
Bagi saya, The Namesake menjadi personal karena menyimpan terlalu banyak kemiripan dengan hidup saya. Tak banyak yang tahu, tapi saya selalu merasakan kegamangan yang sama seperti yang dialami Gogol. Saya lahir dari ibu bersuku Melayu dan ayah bersuku Batak tapi saya tak pernah betul-betul merasa sebagai orang Melayu maupun Batak. Agama saya Islam, tapi nama saya Bernard. Saya sering dikira orang Kristen. Saya merasa tak menjejak pada satu tanah suku, agama, dan bahasa yang kuat. Persoalan identitas tidak pernah menjadi hal yang mudah dan tegas bagi saya.
Pada saat saya membaca The Namesake, usia saya hampir 30 tahun, sama seperti Gogol. Ibu kandung Gogol, Ashima, adalah perempuan India. Tak lama sebelum membaca The Namesake saya mengetahui bahwa saya punya garis keturunan India, langsung dari sebelah ibu; suami dari nenek moyang saya (neneknya ibu) adalah orang India. Sejujurnya saya tak ingat apakah ada adegan memasak di The Namesake, tapi masakan-masakan India selalu terasa dekat bagi saya karena di rumah nenek kami sering menyantapnya. Gogol punya adik perempuan yang usianya tak jauh dari adik saya. Sulit untuk menyangkal betapa berlimpah kemiripan di The Namesake dengan kehidupan personal saya.
Dengan begitu banyak kemiripan, saya tak bisa menghindar dari menjadikan adegan-adegan The Namesake sebagai bahan refleksi. Saya melihat diri saya di dalam Gogol. Cara bertutur Jhumpa Lahiri yang deskriptif dan subtil, membuat saya merasakan perubahan emosi Gogol secara intens, seakan-akan yang saya baca adalah perasaan-perasaan saya sendiri. Membaca The Namesake seperti mengalami perasaan yang sama dua kali. Kegelisahan yang sama. Kesedihan yang sama.
*
Dapatkah saya membuat ulasan buku yang objektif, yang mengesampingkan pengalaman pribadi saya dan membatasi pembacaan di dalam buku itu sendiri? Setelah The Namesake, saya rasa tidak. Saya tak akan pernah mencobanya lagi.
Tentu saja persoalan akan berbeda bagi kritikus sastra, tapi saya akan selamanya melihat buku sebagai sesuatu yang personal, yang memberi efek terdahsyatnya bukan hanya karena ia ditulis dengan bagus dan penuh kesabaran, tapi karena penulisnya telah sangat apik mengungkapkan apa yang dirasakan, dialami, dan disimpan diam-diam oleh pembacanya. Memantulkan kembali wajah sejarah pribadi pembacanya. Menjadi sepotong cermin. ***