"Kebohongan itu seperti pisau. Kalau kau pakai pisau buat menusuk orang, ya itu salah. Tapi kalau pisau itu kau pakai pisaumu untuk mengoles mentega ke roti, enggak ada yang salah dengan itu.
Saya pernah suatu kali terbang dari Berlin ke Milan. Turbulensinya sangat parah. Penerbangan yang buruk sekali. Lalu, saya dengar seorang perempuan menangis, dan berteriak dalam bahasa Italia. Dia pakai baju dengan simbol salip. Saya berharap ada pramugari menghampirinya dan menenangkan perempuan itu. Namun, pas saya lihat ke belakang, dua pramugari semuanya menangis.
Perempuan tadi terus menangis histeris dan berteriak-teriak. Saya pikir, harus ada yang berbuat sesuatu.
Saya lihat kursi di sebelah perempuan itu kosong. Saya buka seat belt, saya pindah ke sebelahnya, saya pasang seat belt. Saya genggam tangan perempuan itu dan saya bilang ke dia:
'Coba liat saya, saya keliatan ketakutan tidak?'
'Tidak,' kata perempuan itu. 'Kenapa Anda tidak ketakutan?'
'Karena saya teknisi penerbangan, dan saya tahu kita sedang naik pesawat paling aman di dunia. Kita akan baik-baik saja.'
Perempuan itu masih menggenggam tangan saya, tapi sekarang dia sudah bisa mengatur napas.
'Tuhan mengirim Anda untuk saya,' katanya. 'Berapa kemungkinannya dari setiap hari dalam hidupku, bisa bertemu seorang teknisi penerbangan di pesawat dalam keadaan seperti ini?'
-
Inilah jenis kebohongan yang saya tidak keberatan melakukannya. Saya pikir, kalaupun saat itu pesawat kami kecelakaan, meninggal dalam kondisi histeris tidak lebih baik dibanding meninggal setelah mendengar seseorang di sampingmu mengatakan kebohongan yang menenangkan."