Saya pernah melihat prosesi leher seseorang digorok sampai putus. Waktu itu saya sekolah tahun kedua SMA. Suatu siang, sepupu saya yang gemar menonton dan mengoleksi video-video brutal dan sadis kategori not safe for work, memberi saya satu video. Saya pikir video apa. Baru beberapa detik berjalan, saya sudah menebak ke mana arah cerita gambarnya. Saya bergidik dan jijik, tetapi rasa penasaran saya lebih besar. Saya mengendalikan diri dan berhasil menyaksikan video itu hingga selesai.
Sampai hari ini saya masih ingat detail dari video sadis tersebut. Pada tahun-tahun yang sama, saya melihat gambar-gambar lain berisikan hal serupa. Kali ini bukan video, tetapi foto-foto. Hasil puncak kerusuhan antaretnis di masa itu. Salah satu foto yang paling melekat dalam memori saya adalah gambar yang memperlihatkan tiga hingga empat kepala manusia, masing-masing diletakkan dan disusun di atas drum-drum kosong, seolah-olah mereka benda pameran. Dan saya kira memang pelakunya ketika itu sedang memamerkan hasil buruan mereka.
Saya membaca The Corpse Exhibition dan tidak bisa menghindar dari ingatan tentang kepala-kepala terpenggal yang disusun itu. Buku ini sebuah kumpulan cerita pendek. Ada empat belas cerita di dalamnya. Cerita pertama, “The Corpse Exhibition”, langsung berhasil menarik perhatian saya dan membuat saya menyukai keseluruhan bukunya meskipun belum membaca cerita-cerita lain (efek baik dari cerita pembuka yang bagus). Berkisah tentang agensi pembunuh yang misi utamanya adalah merancang korban-korban mereka agar tampak seperti benda seni. Mereka memajang mayat-mayat hasil penugasan di sudut-sudut kota dan membentuknya sedemikian rupa supaya mayat-mayat itu jadi terkesan artsy, layaknya benda-benda dalam pameran seni. Namun, kata seorang yang sepertinya supervisor di agensi itu, “…we are not terrorists whose aim is to bring down as many victims as possible in order to intimidate others, nor even crazy killers working for the sake of money.” Bahkan, “We have nothing to do with the fanatical Islamist groups or the intelligence agency of some nefarious government or any of that kind of nonsense.” Kocak dan ironis sekali.
Kocak dan ironis adalah dua kata yang bisa menyimpulkan seluruh cerita dalam The Corpse Exhibition. Dua kata lain: brutal dan vulgar. Brutal karena banyak adegan penembakan dan pembunuhan. Vulgar karena adegan-adegan tersebut sama sekali tidak disamarkan atau dikemas dalam bentuk kemasan, apalagi metafora-metafora. Realisme Blasim sangat mengejutkan karena ia disajikan apa adanya. Sama sekali tak ada niat untuk mengaburkannya dengan alasan apapun. Kalau dahi orang bolong kena peluru, ya dikasih lihat bolongannya seperti apa. Kalau ada orang mati ditusuk, ya digambarkan bagaimana darahnya muncrat dan menggenang di jalan. Tetapi ada dua kata berikutnya: magis dan mistis. Ini yang membuat kumcer Hassan Blasim semakin menarik. Selain anak kecil yang diajari abangnya cara membunuh orang, ada pula sekelompok sahabat yang bisa menghilangkan pisau dan memunculkannya kembali.
Dua cerita yang menjadi favorit saya dalam buku ini terletak di pembuka dan penutup. Penutupnya, cerita berjudul “The Nightmares of Carlos Fuentes”, sempat bikin saya agak terkecoh karena mengira akan bercerita tentang orang Meksiko. Ternyata protagonisnya-seperti hampir di semua cerita-adalah laki-laki arab yang mengubah identitasnya demi meninggalkan negara dan masa lalu yang kelam. Carlos Fuentes adalah Salim Abdul Husein, bekerja sebagai petugas pembersihan sisa-sisa ledakan perang yang bermigrasi ke Eropa dan mati di sana setelah dikejar-kejar mimpi buruk. Dalam mimpi buruknya, Carlos Fuentes kehilangan kemampuan berbahasa Belanda-yang sudah ia pelajari lama demi menjadi orang Eropa-dan tiba-tiba seluruh atribut identitasnya sebagai orang Arab muncul kembali. Ia kemudian berusaha untuk bermimpi dan memusnahkan segala hal yang berasal dari masa lalunya; ke-arab-annya. Dalam mimpinya secara mengejutkan ia bertemu Salim Abdul Husein, dirinya sendiri, dan cerita pun berakhir dengan tragis.
Kalau pernah baca cerpen-cerpennya Etgar Keret, membaca Hassan Blasim akan memberi sensasi serupa, walau tidak persis sama. Di cerpen-cerpen Etgar Keret, humornya lebih terasa dan unsur fantasinya relatif lebih kentara. Hassan Blasim, meskipun cerpen-cerpennya juga terasa kocak, perasaan yang lebih menempel di hati adalah sejenis kegetiran dan kepedihan. Bukan cuma karena Blasim memilih menuturkan kisah-kisah dari belakang layar peperangan itu dengan cara yang vulgar alias sebagaimana adanya, tetapi juga karena kesedihan yang dipendam tokoh-tokohnya begitu dalam dan terlalu pekat untuk ditertawai. Yang jelas, kalau pengin belajar jadi cerpenis yang bagus, Etgar Keret dan Hassan Blasim adalah dua penulis yang patut dijadikan standar (saya kira membaca karya keduanya pada waktu bersamaan juga layak dicoba, mungkin bakal memberi sensasi yang menarik mengingat yang satu memberi cerita-cerita perang dari sudut pandang Yahudi Israel dan satunya lagi menyajikannya dari kacamata orang Arab-Islam Irak).
Cerita tentang sekawanan berkemampuan sejenis sihir yang bisa melenyapkan pisau dan memunculkannya kembali, berjudul “A Thousand and One Knives” (judulnya pasti bikin teringat pada dongeng seribu satu malam, pelafalan knives juga mirip-mirip nights), juga bagian yang menarik dari buku ini. Sekawanan itu terdiri dari empat orang, dengan tiga-tiga laki yang hanya bisa menghilangkan pisau tetapi tidak bisa memunculkannya kembali, dan satu perempuan yang bisa memunculkanya. Cara mereka melakukannya: menatap pisau selama 30 detik dan menangis, tanpa berkedip. Maka poof! hilanglah pisau itu, atau poof! muncul kembali. Paragraf yang saya suka dari cerpen ini: “The days passed slowly and sadly, like the miserable face of the country. The wars and the violence were like a photocopier churning out copies, and we all wore the same face, a face shaped by pain and torment…”
Satu lagi dari buku ini yang saya kira amat relevan untuk disebut. Pada sebuah cerita, Blasim melalui tokohnya berkata bahwa “manusia menggunakan Tuhan untuk memenggal kepala orang lain”. Ouch, kalau saya jadi Tuhan, saya enggak tahu harus bereaksi gimana. Apakah mengucurkan ke dunia manusia karunia yang lebih besar agar mereka bersyukur dan menyadari betapa pengasih dan penyayangnya saya, atau membiarkan mereka melanjutkan misi mulianya demi menegakkan nama saya dengan cara meledakkan tubuh anak-anak kecil dan menghancurkan hidup orang-orang baik?
Sepertinya itu tugas yang terlalu berat, jadi saya perlu mencari pendapat lain. Kalau kamu, seandainya jadi Tuhan, apa yang akan kamu lakukan?