Selain menuntut penulis membuat novel yang penuh kebaruan-baik itu dari segi tema, cara bercerita, dan kawan-kawannya-saya kira tuntutan serupa juga tidak salah jika disodorkan kepada pembaca. Sebagaimana penulis yang baik terus berinovasi dalam menulis, pembaca yang baik juga sekiranya bersedia memperbarui cara pembacaan. Hal tersebut yang melintas dalam pikiran saya, setiap kali membaca novel yang rada aneh, atau dalam bahasa yang sedikit lebih keren, “eksperimental”. Salah satu dari novel-novel aneh atau “eksperimental” itu adalah sebuah novel Indonesia baru yang saya baca beberapa hari lalu, Kiat Sukses Hancur Lebur, karya debut Martin Suryajaya.
Terus terang saya menghadapi kesulitan yang hakiki ketika hendak mengulas novel ini. Bukan karena ia sulit dimengerti, tetapi karena Kiat Sukses Hancur Lebur ditulis dalam bentuk yang unik dan tidak konvensional. Novel ini ditulis selayaknya sebuah buku nonfiksi bertema pengembangan diri atau self-help. Di dalamnya terdapat panduan melakukan macam-macam hal, di antaranya adalah bagaimana mempelajari manajemen bisnis dan kiat-kiat budidaya lele.
Membaca judul-judul bab dalam daftar isinya: Menjadi Pribadi Sukses Berkepala Tiga, Tujuh Kurcaci Manajemen Bisnis, Pemrograman Komputer Menggunakan Sepuluh jari-seketika kita pembaca dibuat ragu apakah sebenarnya kita ini sedang membaca novel atau buku nonfiksi bertema pengembangan diri. Namun, karena penulisnya menyebut buku ini “novel”-setidaknya terlihat dari label pada sampul depan-maka baik, marilah kita hadapi buku ini sebagai novel.
Tetapi, agak mustahil menghadapi Kiat Sukses Hancur Lebur sebagai novel, itu sebabnya di awal tulisan ini saya berkata bahwa seorang pembaca mesti terus mengembangkan cara pembacaannya. Sebagai novel, buku Martin Suryajaya menyeleweng dari hampir seluruh “pakem” elemen sebuah karya fiksi. Tidak ada plot, kehadiran tokoh-tokoh antagonis maupun pendukung, latar tempat dan waktu, adegan, dan konflik.
Satu-satunya penggalan “cerita” yang bisa dipegang untuk menghadapi Kiat Sukses Hancur Lebur sebagai novel adalah nukilan yang tercantum pada sampul belakang buku ini, yang mengatakan bahwa seorang editor menerima kiriman manuskrip novel di tahun 2019 dari seorang penulis bernama Anto Labil, S. Fil (iya, disertai gelar akademis) yang merupakan anggota komunitas sastra radikal di Semarang. Disampaikan pula bahwa manuskrip novel tersebut ditulis dengan gaya seorang pemabuk yang membuat sang editor merasa “tidak pernah cukup meneguk zat asam saat menyuntingnya”.
Akan tetapi, ketika beranjak masuk ke dalam novelnya, kita sama sekali tidak akan menemukan cerita. Tidak ada plot. Tidak ada konflik. Dialog pun amat minim. Hanya ada narasi berupa celotehan narator (tidak dijelaskan apakah Anto Labil, S.Fil sendiri yang menjadi narator ataukah ada seorang protagonis rekaan lain yang berperan sebagai narator) yang menuturkan beragam hal, mulai dari “Tips Sukses Menjadi Pribadi Berkepala Tiga”, “Kiat-kiat Bunuh Diri di Apartemen”, hingga “Resep Sukses Tes Calon Pegawai Negeri Sipil”.
Muatan bukunya sendiri juga bisa dibilang jauh dari bentuk novel yang pernah kita lihat selama ini. Alih-alih sebuah cerita panjang yang utuh, Kiat Sukses Hancur Lebur justrumenampilkan tabel, grafik, dan gambar-gambar pendukung yang lumrahnya terdapat pada karya ilmiah seperti jurnal atau skripsi. Tetapi, tabel, grafik, dan gambar-gambar itu pun tidak tampil dengan wajar, dan malah memberi keterangan yang, jika dilihat sekilas, terkesan ngawur.
Namun, di balik kesan ngawur itu, sesungguhnya Kiat Sukses Hancur Lebur dapat dibaca sebagai cara Martin Suryajaya melayangkan kritik dan ejekennya kepada banyak hal. Ia mengejek fungsi dan kinerja pegawai negeri sipil, manfaat etika bagi kehidupan manusia, dan lain-lain banyak lagi yang sebaiknya kamu cari sendiri saja lah.
Memang sedikit membingungkan menghadapi buku fiksi Martin Suryajaya jika kita tidak memperbarui cara membaca novel. Di sisi lain, saya juga tertarik ingin mengetahui alasan mengapa Martin memberi label “novel” di buku yang jelas memiliki susunan dan bentuk konten lebih mirip karya nonfiksi ilmiah alih-alih sebuah buku fiksi. Apakah itu demi berlindung di balik tameng istimewa fiksi yang mengizinkannya tidak bertanggungjawab atas keabsahan atau keakuratan data dalam tulisannya, atau Martin sungguh-sungguh sedang ingin membuat novel bentuk baru dengan mendobrak aturan-aturan naratif sebuah cerita?
Saya kira, Kiat Sukses Hancur Lebur akan lebih mudah dihadapi pembaca awam jika diberi label “novel komedi”, karena isinya memang lucu dan bertendensi ke arah sana: melucu. Tetapi memang bakal kurang asyik kalau belum-belum penulisnya sudah melabeli sendiri karyanya sebagai novel komedi. Seandainya enggak lucu, gimana? Apa dia mau tanggung jawab? Mungkin itu alasan Martin Suryajaya, meskipun menulis sesuatu yang teramat lucu, tidak cukup gegabah untuk mencantumkan label novel komedi pada bukunya.
Terus terang rada-rada sulit bikin ulasan tentang buku ini. Saya harus membaca ulang bukunya dengan mengambil halaman secara acak demi mencari kira-kira poin apalagi yang mesti saya tulis. Intinya novel Martin Suryajaya ini menurut saya adalah novel yang merusak semuanya: Format karya fiksi, bentuk cerita, bahkan-ini yang paling mendasar dan krusial-logika. Jadi saya baca buku Martin dengan kenikmatan rasa terhibur karena tuturan naratornya yang jenaka. Tetapi apa sebenarnya isi buku ini? Tak tahulah saya.
Tapi buat saya enggak penting tahu apa isi dan maksud buku ini. Buat saya, ya. Kalau kamu tetap butuh mencari makna, maksud, dan pesan moral dari buku ini, ya sudah silakan cari sendiri. Saya tetap menikmati Kiat Sukses Hancur Lebur tanpa paham benar apa yang pengin dibicarakan penulisnya (baik itu Anto Labil, S. Fil atau Martin Suryajaya-yang kayaknya juga S. Fil). Novel ini sumpah minta ampun lucunya. Itu saja yang akan saya katakan ke orang-orang jika mereka bertanya apa bagusnya novel ini. Kalau mereka melanjutkan dengan pertanyaan: “Memang bukunya tentang apa?” atau “Ceritanya bagaimana?” saya langsung angkat pundak dan geleng-geleng. “Baca sendiri deh,” paling-paling saya bakal bilang begitu.
Selain ketawa yang enggak kelar-kelar sepanjang membaca Kiat Sukses Hancur Lebur, setidaknya ada satu hal penting (hore, akhirnya!) yang saya peroleh dari membaca novel perdana Martin Suryajaya ini. Dengan jitu dan melalui cara yang menyenangkan, Martin Suryajaya memperlihatkan kepada saya bahwa cara terbaik mengkritik sesuatu (atau seseorang) adalah dengan membuat lelucon tentangnya. Jadi, lain kali kamu membenci sesuatu (atau seseorang) tidak perlu teriak marah-marah sampai urat leher putus, cukup merancang anekdot atau cerita saja dan jadikan dia tokoh bernasib menyedihkan. ***