Pada awalnya, sedikit sulit bagi saya ketika berusaha memasuki dunia novel Milan Kundera karena belum familier dengan sejarah Republik Ceko, negara asal Kundera, yang ia olah dalam bukunya yang saya baca, The Book of Laughter and Forgetting.
Kundera lahir di Ceko pada tahun 1925. Saat berusia setengah abad, ia terpaksa pergi meninggalkan tempat kelahirannya dan hidup sebagai seorang eksil di Perancis. Entah sebagai bentuk protes atau kekecewaannya terhadap Ceko (atau dalam usahanya melupakan Ceko? Saya cuma menduga-duga dan dugaan saya tidak berlandaskan apapun yang kuat) ia bahkan melakukan penerjemahan ulang atas karya-karyanya, yang pada awalnya ditulis dalam bahasa Ceko, menjadi bahasa Perancis. Pada kata penutup The Book of Laughter and Forgetting (versi bahasa Indonesia: Kitab Lupa dan Gelak Tawa) Kundera berkata bahwa karya-karyanya dalam bahasa Perancis itu lebih mendekati keaslian daripada yang berbahasa Ceko.
The Book of Laughter and Forgetting dibuka dengan sebuah deskripsi atas foto Klement Gottwald dan Vladimír Clementis. Klement Gottwald adalah tokoh komunis Ceko, perdana menteri Ceko pada 1946 – 1948, dan presiden Republik Ceko pada 1948 – 1953. Vladimír Clementis merupakan tokoh berpengaruh Partai Komunis Ceko yang pada foto tersebut digambarkan berdiri di samping Klement Gottwald. Clementis dihilangkan dari foto terkenal yang diambil pada 1948 tersebut sebagai bagian dari propaganda pemerintah di masa itu.
Saya kesampingkan deskripsi foto Gottwald dan Clementis dan memutuskan untuk terus membaca bagian pertama novel, ‘Lost Letters’. Laki-laki bernama Mirek, yang tampaknya seorang aktivis, dibuntuti oleh beberapa orang saat ia hendak menemui Zdena, perempuan yang ia cintai tapi kemudian dirinya menyesal. Mirek hendak menghancurkan surat-surat cinta yang pernah ia kirim untuk perempuan itu. Namun, di perjalanan, ia ditangkap oleh sekelompok orang yang membuntutinya dan akhirnya ia dijebloskan ke penjara.
The Book of Laughter and Forgetting terdiri dari tujuh bagian yang memiliki premis serupa. Namun, ketujuh bagian tersebut memiliki plot yang tidak sangat berkesinambungan, sehingga sebenarnya The Book of Laughter and Forgetting bisa saja dibaca sebagai sekumpulan novela. Payung besar ketujuh novela tersebut adalah tentang melupakan, forgetting. Alih-alih menganggapnya sebagai karya fiksi, saya lebih memandang novel Kundera ini sebagai karya fiksi-semiotobiografi, karena meskipun membalutnya dengan cerita yang dikarang, si penulis juga menuturkan kisah hidupnya sendiri di beberapa bagian.
Tokoh-tokoh dalam novel Kundera adalah orang-orang yang bertarung dengan memorinya sendiri. ‘Mama’, ibunda mertua dari Marketa, yang merupakan istri laki-laki bernama Karel, hampir saja memergoki aktivitas seksual terlarang Marketa, Karel, Eva-teman dari Marketa dan Karel-ketika ia teringat akan seorang temannya di masa lalu yang memiliki wajah mirip Eva. Memori, pada ‘Mama’, membawa plot cerita ke titik baliknya dan menyeretnya dari klimaks.
Tamina, seorang perempuan yang bekerja di sebuah kafe, diceritakan dalam bagian ‘Lost Letters’ kedua, berjuang untuk mendapatkan kembali buku harian pribadi dan surat-surat cinta yang pernah ia tulis untuk mendiang suaminya. Kalau tidak salah ingat, ketika masih bernyawa, si suami digambarkan hidup sebagai eksil. Dalam usahanya mendapatkan barang-barang pribadinya tersebut yang tersimpan di rumah orangtuanya di Praha (Tamina tidak tinggal di Praha), ia bercinta dengan seorang laki-laki bernama Hugo. Sialnya (atau untungnya?), selama mereka bercinta, Tamina tidak bisa mengenyahkan memori mendiang suaminya. Berkali-kali, pada wajah Hugo, ia melihat wajah suaminya sendiri. Hugo, yang diharapkan Tamina dapat membantunya mengambil barang-barang pribadinya itu, akhirnya mengetahui bahwa Tamina hanya memanfaatkannya untuk agendanya sendiri. Ia marah dan Tamina kesal. Pada Tamina, memori mendiang suaminya membuatnya gagal mendapatkan kembali benda-benda pribadi berharganya.
Politik memori dan amnesia sosial adalah apa yang saya kira coba dikatakan oleh Kundera. Kerap ia bertutur bagaimana warga kota Praha merupakan manusia-manusia yang tidak lagi memiliki kontrol atas ingatannya sendiri. Dari waktu ke waktu, dari satu masa penjajahan ke masa penjajahan lain atas kota tersebut, nama-nama jalan di kota terus-menerus berubah dan berganti, sehingga orang-orang tidak lagi ingat bagaimana nama asli jalan-jalan tersebut. Bahkan, tidak lagi merasa bahwa itu penting untuk diingat. Bukankah ‘pelupaan massal’ ini juga terjadi di tempat-tempat lain, tidak terkecuali di tempat kita tinggal, di negara kita? Atau bahkan, di diri kita sendiri? ‘Pelupaan’ yang dituturkan oleh Kundera bisa menelusup hingga ke berbagai lapisan konteks. Sejarah umum maupun sejarah individu. Dan, memang demikianlah sepertinya yang ia tuliskan di dalam The Book of Laughter and Forgetting. Kundera menuliskan bagaimana manusia-manusia dibuat lupa oleh sejarah kota dan bangsa mereka sendiri, dan tentu saja, ‘pelupaan’ ini bukannya tidak dirancang dan direncanakan. Ingat kembali foto Klement Gottwald dan Vladimír Clementis, yang dimanipulasi setelah kudeta demi kepentingan ‘membentuk’ sejarah dan membuat orang-orang lupa pada elemen-elemen yang sebenarnya dan seharusnya muncul di foto tersebut.
Di samping bahasa yang mudah (saya membaca The Book of Laughter and Forgetting terjemahan bahasa Inggris dari versi Perancis) hal yang kentara dalam tulisan-tulisan Kundera adalah humor. Kundera punya selera humor yang menyenangkan. Pada bab ketiga, ‘The Angels’ yang pertama (karena ada dua kali ‘The Angels’) ia menuliskan semacam ‘sejarah tawa’, tentang bagaimana pada mulanya tawa ‘diciptakan’ oleh setan. Tawa setan adalah tawa yang asli, yang lepas, yang tulus. Sementara itu, kelompok malaikat yang tidak menyenangi tawa setan dan khawatir tawa tersebut semakin meluas, melakukan perlawanan dengan tawa versi malaikat, tawa yang digambarkan sebagai tawa beragenda. Saya membayangkan tawa malaikat seperti tawa karakter-karakter aristokrat atau orang super kaya di cerita-cerita komik atau anime. Kundera menuliskan bahwa, oleh malaikat, tawa setan dipandang sebagai ‘ancaman’ atas kebaikan, karena tawa tersebut membuat seseorang lupa. Lupa daratan, istilah yang kita pakai. Saya jadi teringat di dalam Islam pun dikatakan bahwa seseorang tidak boleh tertawa terlalu lebar, ngakak, karena pada momen itu setan dapat masuk ke dalam dirinya. Saya tertawa berkali-kali membaca bagian ini.
Selain humor, yang menyenangkan dari cerita-cerita Kundera adalah kenyataan bahwa cerita-cerita tersebut tetap dapat dinikmati walau kita tidak mengetahui konteks atau peristiwa aktual atau wacana yang melandasi cerita tersebut. Walau kita tidak tahu tentang sejarah pendudukan Rusia atas Ceko dan tahu hanya sedikit tentang perang dunia dan wacana komunisme, kita tetap dapat menikmati cerita-cerita Kundera, setidaknya sebagai sebuah cerita. Saya kira, salah satu ciri cerita yang baik adalah cerita yang tetap dapat dinikmati meskipun si pembaca tidak memiliki wawasan kontekstual atas cerita tersebut. Tentu saja, cerita yang baik juga adalah cerita yang jikalau si pembaca memiliki wawasan kontekstual atas cerita tersebut, ia akan mendapatkan pembacaan yang lebih lengkap, luas, dan dalam. ***