Waktu itu pertengahan maret, malam hari, saya menghadiri acara pembukaan sebuah festival sastra internasional di sebuah tempat di bilangan Cikini, dan selama tak kurang dari tiga puluh menit, saya menyaksikan keindahan yang belum pernah saya lihat seumur hidup saya.
Saya dan banyak orang lain berada di sebuah ruangan. teater kecil, namanya. ya, kami sedang di Taman Ismail Marzuki, menonton malam pembuka Asean Literary Festival 2015. setelah melihat pembacaan puisi, muncullah sesosok pria berpakaian rapi, memberi salam ke arah kami, lalu ia pun duduk di singgasananya: sebuah bangku panjang yang berada tepat berhadapan dengan grand piano.
Ia mengangkat kedua telapak tangan ke udara, lalu mulai memencet tuts-tuts piano.
Selama beberapa menit, saya tersihir. saya yakin, orang-orang lain di dalam teater kecil itu juga terkesima. Pria di atas panggung yang sedang bermain piano itu sesungguhnya tidak sedang bermain piano. Saya yakin ia sedang merapal mantra lewat bunyi-bunyian. dan benarlah, kami tersihir.
Ia membawakan beberapa lagu yang ia sebut dengan rhapsody nusantara. Di sebuah lagu, ia bahkan bermain hanya menggunakan satu tangan. Ia melakukannya sebagai cara berempati dan menunjukkan bahwa lagu tersebut terinspirasi oleh saudara-saudara difabel.
Saya tidak bisa melakukan apa-apa selain berdecak kagum di dalam hati, dan menggeleng. Sialan orang ini, saya membatin.
Tentu saja umpatan itu bukanlah umpatan, melainkan ekspresi ketakjuban saya.
*
Keesokan harinya, giliran saya yang berada di panggung, bersama dua orang teman sebaya sesama pencinta tulisan. Kami berbicara tentang bagaimana generasi kami, yang ternyata sudah dilabeli sebagai generasi digital, menyampaikan cerita-cerita dan tulisan-tulisan kami.
Saat jeda berbicara, saya melempar pandangan ke hadirin yang duduk di depan kami. di salah satu kursi, saya menemukan sosok yang tidak asing. Ia adalah pria pianis itu. Berbeda dengan malam sebelumnya saat saya melihat ia mengenakan setelan jas rapi, siang itu saya melihat ia tampak sangat santai. Ia hanya mengenakan kaus berwarna cerah dan jeans.
Saya berkata dalam hati, seusai sesi bicara ini, saya harus menemuinya.
*
Saya bergegas mengambil satu kopi buku puisi saya sendiri di stan penerbit, dan buru-buru menghampirinya yang sedang berjalan di bawah terik matahari.
“Permisi, Mas,” saya mencegatnya, “Saya Bernard Batubara. Ini buku puisi saya, saya mau kasih untuk mas.”
Pria pianis itu menerimanya dengan senang hati. Saya tahu, ia menyukai puisi. Karena bertahun-tahun lampau saya menemukan videonya memainkan musik untuk puisi karangan penyair yang saya sukai, Hasan Aspahani. Bibirku Bersujud di Bibirmu, tajuk puisi itu. Maka, saya beri pria pianis itu buku puisi saya sendiri. Tidak ada ekspektasi apa-apa, selain berharap ia senang menerima buku itu dan menjadikannya tambahan koleksi. Syukur-syukur ia mau membacanya.
Lalu, dua malam yang lalu, ia menunjukkan gambar ini ke khalayak, dan menggamit saya beserta beberapa orang lain yang ternyata adalah rekan-rekannya.
Alangkah kagetnya saya, tentu saja. Saya tidak pernah membayangkan ia menulis lagu yang berasal dari puisi saya. Senang atau gembira kurang cukup untuk menggambarkan perasaan saya saat melihat gambar ini. Saya hanya bisa memandangi gambar ini terus-menerus sambil membayangkan bagaimana wujudnya.
Pria pianis itu bernama Ananda Sukarlan. Ia menggubah komposisi lagu barunya dari sebuah puisi di buku Angsa-Angsa Ketapang. Begini lirik puisi itu:
Saya kira, pria pianis itu, ia telah melakukan bentuk penghargaan tertinggi yang bisa dilakukan oleh seorang seniman (sekaligus penghargaan tertinggi yang bisa saya terima) yang tentunya akan membuat dunia seni jadi lebih menyenangkan ketika semakin banyak orang melakukannya.
Ia, pria pianis itu, mengapresiasi karya menggunakan karya. ***
Memo: Sepasang Daun Ketapang
kelak kita akan menguning dan tak lagi
mampu bertahan di ranting yang kian
renta ini
mampu bertahan di ranting yang kian
renta ini
tapi percayalah saat jatuh dan tersapu
nanti akan ada yang menyatukan kita
kembali
nanti akan ada yang menyatukan kita
kembali
dalam rimbun rumah api.
Saya kira, pria pianis itu, ia telah melakukan bentuk penghargaan tertinggi yang bisa dilakukan oleh seorang seniman (sekaligus penghargaan tertinggi yang bisa saya terima) yang tentunya akan membuat dunia seni jadi lebih menyenangkan ketika semakin banyak orang melakukannya.
Ia, pria pianis itu, mengapresiasi karya menggunakan karya. ***
***