Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all articles
Browse latest Browse all 402

In Praise of the Stepmother, Mario Vargas Llosa

$
0
0



Kali pertama saya membaca buku dari pengarang Amerika Latin adalah novela berjudul Memories of My Melancholy Whore, Gabriel García Márquez. Saya menyukai novela itu, yang bercerita tentang laki-laki yang ingin bercinta dengan gadis belia sebagai usaha untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-90. Setelah itu, saya membaca Pedro Páramo, juga novela, karangan Juan Rulfo. Saya sangat, sangat menyukainya. Semenjak itu, saya mulai memberikan perhatian khusus pada karya-karya pengarang Amerika Latin. Termasuk Mario Vargas Llosa, yang sebetulnya sudah saya simpan bukunya sejak dua tahun lalu, namun baru sempat saya baca tahun ini.

Sebagai penggemar kesusastraan Jepang (sebetulnya saya baru membaca Yasunari Kawabata, Ryu Murakami, Haruki Murakami, dan Natsume Sōseki) ada setidaknya satu hal yang tertangkap oleh saya dari karya-karya pengarang Amerika Latin, yang saya merasa tertarik untuk membandingkannya dengan karya-karya pengarang Jepang, yakni tentang bagaimana mereka menggubah tema (atau subtema) seksualitas. Ada semacam karakteristik yang khas yang muncul di novel-novel pengarang Amerika Latin dan Jepang saat mereka menggambarkan adegan-adegan percintaan, dan elemen-elemen lain di dalamnya.

Saya menyinggung perihal seksualitas karena di dalam novela In Praise of the Stepmother, hal itulah yang menjadi plot utama. Atau setidaknya, bungkus yang dipakai Llosa untuk menyampaikan hal-hal lain, seperti interpretasinya terhadap sejarah, mitologi, dan religiusitas.

Dõna Lucrecia, si ibu tiri, memiliki affair terlarang dengan anak tirinya sendiri, Alfonso, atau seperti panggilan sayang Dõna Lucrecia kepadanya, Fonchito. Hubungan terlarang ini berjalan di belakang sang suami, Don Rigoberto, laki-laki pencinta kebersihan dan ritual (lewat adegan-adegan yang digambarkan Llosa, saya menduga ia juga mengidap semacam obsessive compulsive disorder). Affair si anak dan ibu tirinya akhirnya terbongkar, dan di keluarga kecil bahagia itu, terjadilah tragedi.

Membaca plot utama, dan gambaran adegan-adegan yang ditulis Llosa, agaknya In Praise of the Stepmother bisa kita masukkan ke dalam genre yang belakangan ini sepertinya kembali populer: erotika. Genre erotika tiba-tiba saja kembali dibicarakan setelah kemunculan novel laris sedunia berjudul Fifty Shades of Grey (saya sendiri belum membacanya). Adegan-adegan seks di novela Mario Vargas Llosa ini digambarkan dengan apa adanya, tanpa sensor, bahkan di beberapa bagian terasa berapi-api, seperti penggambaran adegan seks oleh pengarang-pengarang Amerika Latin lain yang pernah saya baca.

Yang membuatnya menarik untuk diperbandingkan dengan novel-novel dari para pengarang Jepang adalah, bagaimana seksualitas hadir dengan tone atau nuansa yang sama sekali berbeda. Di novel-novel Yasunari Kabawata, misalnya, adegan-adegan percintaan dideskripsikan dengan sangat lembut, perlahan, subtil, dan sesekali dikombinasikan dengan deskripsi suasana alam, bagaikan membaca haiku-haiku Jepang. Di novel-novel Haruki Murakami, seksualitas muncul sebagai sesuatu yang nyaris tidak berarti. Maksudnya, bukan sesuatu yang mesti dilakukan dengan pikiran-pikiran gugup atau aneh, namun merupakan hal yang wajar dan mengalir begitu saja. Seorang gadis di dalam novel Haruki Murakami bisa berkata dengan santainya kepada cowok di sebelahnya, “Kamu lagi capek ya? Sini, aku bantu melepaskan rasa tegangmu. Aku bisa kasih kamu handjob.

Sementara itu, di novel-novel dari pengarang Amerika Latin, termasuk In Praise of the Stepmother, adegan-adegan percintaan muncul dengan bergelora, berhasrat, berapi-api, layaknya adegan-adegan intim di serial telenovela. Saya tidak tahu persis dan pastinya hanya menduga-duga, namun barangkali begitulah cara orang-orang Jepang dan Amerika Latin memandang seks. Yang satu lembut, perlahan, sekaligus seringkali absurd dan aneh, yang satunya lagi berapi-api seolah tak ada waktu lain untuk berhubungan badan.

Tentu saja bukan hanya perkara seksualitas yang ditulis Mario Vargas Llosa di dalam novelanya ini (saya membaca versi terjemahan Bahasa Inggris oleh Helen Lane, terbitan Picador). Llosa menggunakan seksualitas untuk mengantarkan pandangan-pandangan dan interpretasinya terhadap hal-hal yang berputar di antara sejarah, mitologi, dan religiusitas. Lewat bab-bab yang menunjukkan aktivitas ritual Don Rigoberto (mandi, membersihkan telinga, buang hajat) Llosa juga berbicara tentang ketidaksempurnaan dan ‘lubang-lubang’ pada diri manusia serta bagaimana memandang ‘lubang-lubang itu sebagai cara untuk mencapai kebahagiaan.

Selain membandingkan elemen seksualitas pada novela Llosa ini dengan novel-novel dari pengarang Jepang, saat membaca In Praise of the Stepmother saya juga mau tidak mau teringat My Name Is Red karangan penulis Turki, Orhan Pamuk. Pamuk menggunakan banyak sudut pandang dalam My Name Is Red untuk menuturkan ceritanya, selain bertutur dari tokoh-tokoh utama dan sampingan yang kesemuanya adalah manusia, Pamuk juga memasukkan bab-bab yang tokoh utamanya adalah benda-benda mati (sekeping koin, warna merah, anjing dan kuda yang berupa lukisan). Llosa melakukan hal serupa. Selain menuturkan cerita dari sudut pandang Dõna Lucrecia dan Don Rigoberto, Llosa juga menggunakan tokoh-tokoh abstrak yang sebetulnya berada di luar cerita (Raja Candaules, Dewi Venus, Monster, Cinta) namun memiliki porsi untuk memberi lapisan pemahaman lain atas apa yang sedang berusaha disampaikan oleh Llosa lewat konflik gelap keluarga kecil Don Rigoberto.

Lewat tokoh-tokoh abstrak tersebut, Llosa menggunakan alusi-alusi untuk menyampaikan gagasan-gagasannya akan makna cinta, berahi, dan romantisme. Hubungan terlarang antara Dõna Lucrecia si ibu tiri dan anak tirinya, Alfonso (serta barangkali juga si pembantu, Justiniana) dituturkan dengan sangat artistik oleh Llosa lewat rangkaian kata-kata yang tidak bisa tidak dibaca lebih dari dua atau tiga kali agar benar-benar dapat menangkap inti dari artinya.

Seperti juga yang dilakukan oleh Juan Rulfo dan Gabriel García Márquez sang maestro realisme magis, teks Mario Vargas Llosa adalah sesuatu yang indah, sekaligus rumit dan berlabirin. Meski jarak perjalanannya pendek, mau tidak mau kita menerima tawaran Llosa untuk berbelok ke cabang-cabang jalan yang lain terlebih dahulu, agar dapat meresapi apa yang sebetulnya memang hanya dapat dimengerti lewat perjalanan bercabang itu.

Dan, bukankah seperti semua hal di dunia ini juga,  bahwa untuk memahami sesuatu yang kadangkala terasa mudah, kita harus menempuh perjalanan pikiran yang sangat panjang untuk sampai ke tujuan. Pun, kita mesti melakukannya dengan tulus, dan seringkali harus mengosongkan pengetahuan yang sudah dimiliki, agar bisa masuk ke dalam sebuah arena, tempat jawaban atas seluruh pertanyaan bersembunyi: sebuah labirin.

At first, you will not see me or hear me, but you must be patient and keep looking. With perseverance and without preconceptions, freely and with desire, look. With your imagination unleashed and your penis ready and willing-preferably erect-look. One enters there as the novice nun enters the cloister, without petty calculations, giving everything, demanding nothing, and in one’s soul the certainty that it is forever. Only on that condition, very gradually, the surface of dark purples and violets will begin to move, to become iridescent, to take on meaning and reveal itself to be what it in truth is, a labyrinth of love (pg. 117). ***

Viewing all articles
Browse latest Browse all 402