Saya tertarik membeli dan membaca novel ini karena; pertama, ia adalah satu dari kalau tidak salah enam nominasi penghargaan Man Booker Prize 2014 (kalah dari The Narrow Road to the Deep North milik Richard Flanagan); kedua, karena judul dan sampulnya menarik; ketiga, karena penulisnya membuka cerita dengan berceloteh soal mulut. The mouth is a weird place, katanya. Not quite inside and not quite out, not skin and not organ, but something in between: dark, wet, admitting access to an interior most people would rather not contemplate-where cancer starts, where the heart is broken, where the soul might just fail to turn up.
Joshua Ferris membuka novelnya dengan bertutur mengenai mulut dan mencoba berfilosofi dengannya, meskipun saya tidak begitu menangkap apa poin filosofinya itu, selain untuk memberikan petunjuk bahwa tokoh utama dalam novel adalah seseorang yang memiliki hubungan dekat kepada mulut. Usut punya usut, ternyata tokoh utama novel ini adalah seorang dokter gigi bernama Paul C. O’Rourke yang memiliki klinik kesehatan gigi di Park Avenue, Manhattan. Paul bekerja di sebuah klinik gigi yang tidak besar bersama tiga orang karyawan (salah satu dari mereka adalah pacarnya), dan pada suatu hari mengalami sebuah masalah yang mengganggu kehidupannya.
Awalnya, saya tertarik dengan cara bertutur Joshua Ferris, karena ia berbicara dengan ringkas, tanpa deskripsi gestur atau latar yang berlebih, dan nada jutek yang menghibur. Namun, lama-kelamaan, saya mulai jengkel. Jika di awal tadi saya bilang bahwa mulut adalah hal yang membuat saya tertarik untuk membaca novel ini, maka mulut pula lah yang membuat saya ingin cepat-cepat menyelesaikan (bukan dalam arti yang baik) dan meninggalkan novel ini selama-lamanya.
Masalahnya adalah, Paul C. O’Rourke tak bisa mengerem mulutnya, ia terlalu gemar menggerutu.
Saya percaya bahwa karakter dalam novel harus simpatik. Simpatik bukan berarti baik. Karakter antagonis, tokoh yang suka menyiksa atau membunuh, bahkan mafia sekalipun dapat menjadi simpatik. Simpatik artinya mendapatkan pengertian atau ‘belas kasih’ dari pembaca. Bagi penulis, menciptakan karakter yang simpatik artinya membangun karakter yang manusiawi, artinya memunculkan kehidupan masa lalu, alasan-alasan dan motivasi yang membuat tokoh tersebut melakukan apa yang ia lakukan di masa sekarang, yang membentuk cara tokoh memandang kehidupan.
Paul C. O’Rourke dalam To Rise Again at a Decent Hour adalah dokter gigi yang gemar menggerutu, tanpa sebab yang benar-benar jelas. Ia terus dan terus menggerutu tentang banyak hal. Salah satunya adalah pekerjaannya sendiri, yang tidak memberinya waktu untuk beristirahat dan menikmati hal-hal lain (well, kau seorang dokter, apa yang kau harapkan, Paul?). Hal berikutnya yang ia gerutukan setiap hari adalah ketergantungan karyawan-karyawannya terhadap Internet dan social media. Paul menggerutu tentangFacebook, E-mail, website, bahkan emoticon. Joshua Ferris menggambarkan karakter Paul sebagai manusia yang tidak begitu menyukai perkembangan teknologi, terpisah dari euphoria dunia maya, dan memilih untuk melakukan hal-hal dengan cara manual, cara lama. Namun, Ferris tampak tak tertarik atau tak punya waktu untuk memberikan fondasi kuat, mengapa Paul menjadi seperti itu, mengapa ia tampak membenci Internet dan social media. Satu-satunya kepingan masa lalu Paul yang ditampilkan Ferris hanyalah informasi tentang ayahnya yang meninggal (bunuh diri?) dan… itu saja. Sama sekali tidak menjelaskan mengapa Paul menjadi Paul yang sekarang.
Hal menyebalkan lainnya dari novel ini adalah, masih seperti sebelumnya, Paul terlalu gemar menggerutu. Joshua Ferris, lewat Paul, terus-menerus menjelaskan satu objek dalam paragraf panjang, kadang teramat panjang, dengan informasi-informasi sekunder yang berekor, seolah-olah Ferris tak yakin pembaca memiliki kecerdasan yang cukup untuk mengerti apa yang ia maksudkan. Penjelasan panjang-lebar Ferris betul-betul tidak efektif dan membuat saya melakukan skimming hampir separuh novel. Ketika membaca tulisan yang memiliki penjelasan sekunder terlalu panjang untuk satu hal, kau dapat melakukan skimming dan takkan ketinggalan satu informasi penting pun, karena penjelasan tetek bengek tersebut tidak menggerakkan plot. Apalagi kalau dituturkan dengan cara yang tidak menghibur.
Saking sebalnya dengan Paul atau Ferris yang terlalu gemar menggerutu, saya sampai heran kenapa novel ini bisa masuk nominasi Man Booker Prize. Tapi biarlah, bukan itu poin catatan saya kali ini. Saya mencoba untuk tetap positif selama membaca, bahkan saya mencoba untuk mencari-cari kira-kira apa yang membuat novel ini masuk nominasi Man Booker Prize. Mungkin karena isu yang diangkat. Paul C. O’Rourke, dokter yang gemar menggerutu, suatu hari bertemu dengan seorang pasien aneh yang berpamitan dan tiba-tiba mengucapkan satu hal aneh kepada Paul. Ulm. Semenjak itu, Paul mengalami hal-hal janggal. Tiba-tiba, saat seorang karyawannya meramban di Internet, ia menemukan website klinik kesehatan gigi mereka. Padahal Paul tidak pernah membuat website untuk kantornya. Website misterius itu diiringi peristiwa-peristiwa misterius lain, yang diakhiri dengan keterkejutan Paul saat mengetahui bahwa dirinya adalah keturunan, atau bagian dari sebuah bangsa yang terasing dan terlupakan sejak ribuan tahun lalu, sebuah bangsa dan kepercayaan yang lebih tinggi dari Yahudi dan bangsa-bangsa lain.
Saya membaca novel ini bersamaan dengan novel adaptasi dari film Deat Poets Society, dan merasakan kontras yang cukup kentara. Di Dead Poets Society, seluruh tokoh, baik para murid, guru, maupun orangtua murid yang tampak keras dengan anak-anaknya, semuanya memiliki alasan dan motivasi yang jelas mengapa mereka menjadi mereka yang sekarang, mengapa mereka melakukan hal-hal yang mereka lakukan. Tokoh-tokoh dalam To Rise Again at a Decent Hour tidak memiliki itu, alih-alih, mereka malah (hampir seluruh tokoh, bahkan sampai ke tokoh sampingan) semuanya tampak menyebalkan dengan ‘tidak bersimpati’ satu sama lain, membuat saya melihat klinik kesehatan gigi Paul C. O’Rourke seperti sebuah tempat kumpulan orang-orang yang menyebalkan.
Setidaknya, dari membaca novel ini, saya dapat memperingati diri sendiri untuk tidak menciptakan tokoh yang gemar menggerutu tanpa alasan jelas, menghindar dari memberi penjelasan dan deskripsi yang kelewat panjang-lebar sampai meledek tingkat kecerdasan pembaca, dan terus belajar menulis lagi. Novel ini mengingatkan saya kembali bahwa kita tidak hanya bisa belajar dari buku-buku bagus, tapi juga dari buku-buku yang kurang bagus, untuk tidak mengulangi kesalahannya dan tidak menjadikannya inspirasi. ***