Ilustrasi oleh Ida Bagus Gede Wiraga
Negeri Angin
Cerpen Bernard Batubara
Alkisah, di Negeri Angin, segalanya dikuasai oleh angin. Mulai dari masalah dapur dan rumahtangga hingga intrik-intrik di gedung dewan rakyat, semua dipengaruhi oleh angin. Mulai perkara anak sekolahan hingga masalah sengketa tanah dan warisan, semua bergantung pada angin. Begitu berkuasanya angin sampai-sampai semua warga penghuni Negeri Angin melayangkan doanya kepada angin.
Di Negeri Angin, tak ada yang namanya polisi. Setidaknya, semakin hari polisi semakin berkurang perannya dan lama-kelamaan tak ada lagi pemuda dan pemudi berminat untuk menjadi polisi. Sebabnya tak lain adalah setiap perkara kriminal yang dibawa ke kantor polisi, segera saja terbawa pergi oleh angin.
Begitu pula perihal yang paling marak dan disoroti di Negeri Angin, yakni perihal korupsi. Para aktivis anti korupsi semakin lama semakin surut semangatnya menyelidiki kasus-kasus korupsi sebab setiap perkara yang mereka bawa ke Komisi Pemberantasan Korupsi, beberapa hari kemudian langsung lenyap, melayang terbawa angin.
Sama pula dengan para aktivis kemanusiaan. Setelah bertahun-tahun berjuang melawan lupa, mereka pada akhirnya lesu juga, sebab tuduhan demi tuduhan dan tuntutan demi tuntutan atas kasus pelanggaran hak-hak kemanusiaan yang mereka koar-koarkan tak butuh waktu lama untuk kemudian terbawa hilang oleh hembusan angin.
Di Negeri Angin, hanya angin lah yang paling berkuasa. Angin yang mengatur ada atau tidaknya sebuah kabar. Datang atau perginya sebuah kasus. Muncul atau lenyapnya sebuah perkara.
***
“Kau tahu desas-desus itu?” Seorang pejabat kementerian berbisik kepada koleganya di dalam sebuah restoran mewah. Melantun musik slow jazz dan suara rendah Diana Krall yang syahdu. Terdengar pula denting garpu dan pisau juga suara riuh rendah obrolan pengunjung lain. Pramusaji berputar ke sana ke sini membawakan pesanan.
“Desas-desus apa, Pak?”
“Telah muncul sosok misterius.”
“Maksud Bapak?”
“Ya. Kabarnya, ada seseorang yang mampu menangkap angin. Dan dia telah menangkap angin dari berbagai penjuru Negeri Angin ini.”
“Begitu? Berbahaya sekali.”
“Ya. Ya. Berbahaya sekali. Tidak baik untuk bisnis kita. Dan kondisi pada umumnya, kau mengerti?
“Mengerti, Pak.”
Kedua pria bertubuh tambun dan berkemeja rapi itu sama-sama terlihat gelisah. Dua gelas anggur merah di atas meja bertaplak sutra masih utuh tak sempat terminum. Dua piring steak pun hanya tercuil sedikit. Lagu kini berganti ke sebuah lantunan bernada bossanova.
“Kabarnya, dia, sosok misterius itu, keluar menangkap angin setiap malam Jum’at kliwon. Kasus-kasus yang sudah terbang terbawa angin satu demi satu telah ditangkapnya. Kau tahu kasus suap yang melibatkan Tuan B dan Tuan C? Itu sudah ditangkap anginnya. Kasus proyek M? Itu pun. Semua sudah kembali ke kantor polisi dan penyelidikannya dimulai kembali.” Ia mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya yang gemuk dan pendek ke meja. “Kalau betul apa yang didesas-desuskan itu, hanya tinggal menunggu waktu hingga angin kasus kita ditangkapnya.”
“Gawat ini, Pak. Gawat ini.” Kolega pejabat tersebut tampak cemas. “Sosok misterius itu, adakah namanya Pak?”
“Orang-orang menyebutnya, Sang Penangkap Angin.”
***
Sang Penangkap Angin berdiri tegap di puncak sebuah gedung pencakar langit. Ia memicingkan mata, melempar pandangannya ke sudut-sudut kota di Negeri Angin. Di tempat itu, pada senjakala yang sama seperti beberapa tahun lalu, ia bertemu dengan kekasihnya. Seorang perempuan yang kelak menjelma menjadi udara.
“Duhai, udaraku, kekasihku. Lihatlah aku, berkelana dari satu kota ke kota lain di Negeri Angin ini. Menangkap angin demi angin untuk menemukan engkau dan rinduku yang telah terbang terbawa olehmu. Tapi tak kutemukan jua. Ke mana kah engkau, kekasihku, Udara?”
Tak ada jawaban dari angin di sekeliling Sang Penangkap Angin. Hanya terdengar olehnya siulan burung-burung dan dirasakan pada tengkuknya semilir angin kecil seolah merayu dirinya.
“Sebab tak kutemukan juga engkau dan rinduku yang lenyap diterbangkan angin beberapa tahun lalu, maka aku menangkap angin yang lain. Angin yang kutangkap itu, kekasihku, Udaraku, angin yang alangkah kotornya. Penuh suara-suara dan perkara-perkara busuk. Penuh hal-hal yang tak terselesaikan atau sengaja tak diselesaikan oleh para manusia. Aku menangkap angin demi angin itu, kekasihku, hanyalah untuk mengembalikan kepada mereka agar mereka menuntaskan apa yang sudah mereka mulai. Tentunya engkau setuju pada tujuanku, kekasihku, Udaraku?”
Setelah menarik napas yang panjang dan memejamkan mata sejenak, Sang Penangkap Angin melompat dari pinggir gedung pencakar langit itu. Ia merentangkan tangan dan ia tak terjatuh ke tanah, melainkan terbang. Ia terbang dan terus terbang, menuju cahaya termerah dari senjakala.
***
“Gawat, Pak. Gawat! Angin kasus kita sudah ditangkap. Angin kita itu!”
“Sialan! Sang Penangkap Angin kurang ajar. Kita harus beri dia pelajaran. Tidak bisa dibiarkan seperti ini, kau tahu? Tidak bisa!”
“Beri dia pelajaran, Pak? Bagaimana caranya, Pak?”
“Sewa mata-mata. Sewa pembunuh bayaran. Kumpulkan aparat yang bisa dibayar dan suruh mereka mencari dan menyingkirkan Sang Penangkap Angin. Jangan biarkan makhluk itu terus menangkap angin! Berbahaya, kau tahu? Berbahaya!”
“Ya, berbahaya Pak. Tapi bagaimana kalau gagal? Kabarnya Sang Penangkap Angin bukan manusia. Dia bisa terbang! Manusia seperti apa bisa terbang, Pak?”
“Ah, kalau perlu bayar dukun. Pendekar. Semuanya! Aku mau kepala Sang Penangkap Angin besok malam ada di meja kantorku. Kepalanya saja!”
***
Sang Penangkap Angin terbang dan terbang dari satu puncak gedung ke puncak gedung yang lain. Ia telah menangkap angin dan mengembalikan berbagai kasus ke kantor polisi dan lembaga-lembaga penyelidik. Kasus korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan dalam rumah tangga, penculikan, pembunuhan, satu per satu telah dimulai kembali proses peradilannya. Para pelaku terutama mereka yang berada pada kursi pemerintahan mulai cemas dan gelisah. Para korban setiap malam berdoa kepada Sang Penangkap Angin agar angin yang membawa terbang kasus yang menimpa mereka segera tertangkap dan diproses kembali oleh pihak berwenang.
“Kekasihku, Udaraku,” kata Sang Penangkap Angin, bergumam seraya ia terbang melintasi langit, “kadang aku lelah dengan apa yang kulakukan ini. Tak kunjung habisnya angin yang kutangkap. Peristiwa-peristiwa kotor dan tak terselesaikan itu seakan tak berbatas jumlahnya. Sampai kapan aku harus menangkap angin? Berapa banyak lagi kasus-kasus tak terselesaikan yang masih terbang terbawa oleh angin entah ke mana? Lebih-lebih lagi kekasihku, Udaraku, siapakah yang meniupkan angin itu? Siapa yang menciptakan Negeri Angin ini? Kenapa pula diciptakan negeri seperti ini? Negeri di mana permasalahan-permasalahan bangsanya tak pernah terselesaikan dan terbang begitu saja oleh angin? Kekasihku, ingin rasanya aku bertemu pencipta Negeri Angin ini.”
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba terdengar suara letusan entah dari mana datangnya. Sang Penangkap Angin merasakan panas, panas sekali pada punggungnya. Ia menoleh ke belakang, tampak oleh matanya yang memicing seorang penembak jitu mengintainya dari puncak gedung di kejauhan. Ah, Kekasihku, ia membatin, rupanya tiba juga waktuku, mereka takkan membiarkanku menangkap angin lagi, sebab kehadiranku mengganggu kehidupan mereka.
Sang Penangkap Angin merasakan pandangannya mulai kabur. Ia mengerjap-ngerjapkan mata. Sekali lagi terdengar letusan keras. Timah panas menembus batok kepalanya dari belakang. Penembak jitu yang lain lagi. Sang Penangkap Angin tak mampu terbang. Tubuhnya seakan tak berbobot, jatuh bebas…
Di Negeri Angin, hanya angin yang paling berkuasa. Angin yang mengatur ada atau tidaknya sebuah kabar. Datang atau perginya sebuah kasus. Muncul atau lenyapnya sebuah perkara. Bahkan Sang Penangkap Angin pun kini telah terbang lagi, ke atas sana, dipanggil oleh Sang Angin.
***