Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all articles
Browse latest Browse all 402

1Q84, Haruki Murakami

$
0
0




Saya tak ingin bicara tentang kesepian atau kesendirian Murakami, saya sudah pernah membahasnya di catatan ini. Saya juga tak ingin membahas absurditas dan dialog-dialog Murakami yang cerdas, saya sudah pernah membahasnya pula. Pun, saya tak ingin membahas tentang adegan-adegan seks Murakami, saya sudah pernah menuliskannya di sini. Lalu, apa yang ingin saya bahas pada catatan kali ini? Saya ingin membahas tentang ceritanya saja. Hanya jalan ceritanya. Saya hanya ingin membahas 1Q84 sebagai 1Q84. Tanpa kesepian, kesendirian, absurditas, dan seksualitasnya.

1Q84 adalah buku ketujuh dari Haruki Murakami yang saya baca. Sebelumnya, saya membaca (sesuai urutan): Dengarlah Nyanyian Angin, Norwegian Wood, After Dark, What I Talk About When I Talk About Running, A Wild Sheep Chase, dan Blind Willow Sleeping Woman. Saya menunda membaca 1Q84 sebab buku tersebut terlalu tebal bagi saya yang belum menemukan mood dan stamina untuk membaca buku-buku kelewat tebal. Namun, karena setelah membaca enam buku Murakami dan saya merasa telah menemukan apa yang bisa saya temukan dalam karya-karya Murakami, akhirnya saya memutuskan untuk membaca karya grandeur dari Murakami, 1Q84. Bisa dikatakan, 1Q84 adalah puncak pembacaan saya terhadap Murakami (walaupun tidak menutup kemungkinan setelahnya saya masih akan membaca buku-buku Murakami yang lain).

Nah, mari kita masuk ke dalam 1Q84.

Dibuka dengan adegan yang cukup lambat, saya hampir melakukan skimming bahkan sejak awal novel. Namun, karena saya pikir novel tebal ini adalah buku terakhir Murakami yang akan saya baca, saya sudah bertekad untuk membaca 1Q84 dengan seksama. Maka saya tahan keinginan untuk skimming meski deskripsi adegan yang ditulis Murakami terasa bertele-tele dan dipanjang-panjangkan. Saya berpikir positif saja, mungkin pada adegan yang pelan tersebut terdapat petunjuk penting tentang cerita.

Saat mulai membaca, cukup banyak pertanyaan yang muncul di kepala saya. Pertama: mengapa dan bagaimana sopir taksi yang ditumpangi Aomame (yang taksinya tampak tak biasa itu) bisa mengucapkan kata-kata yang sangat filosofis? Aomame yang terjebak macet, mendapatkan petunjuk dari si sopir taksi diiringi kalimat semacam petuah amat bijak yang entah darimana datangnya: “…And after you do something like that, the everyday look of things might seem to change a little. Things may look different to you than they did before. I’ve had that experience myself. But don’t let appearances fool you. There’s always one reality.” Saya kira, sopir taksi misterius dengan mobil tidak biasa dan kata-kata filosofis itu adalah salah satu karakter sampingan penting yang akan muncul di bab-bab berikutnya, ternyata saya keliru.

Pertanyaan kedua: mengapa, meminjam istilah Murakami sendiri, out of the blue, Aomame teringat dan berpikir tentang Tamaki, sahabatnya? Pertanyaan ketiga: bagaimana Aomame bisa tahu banyak hal tentang senjata api (ia merasakan perubahan pada senjata yang dipakai polisi, bahkan ia menyebut Beretta dan Glock) sementara saat diberi pistol oleh Tamaru ia tampak seperti seorang yang betul-betul awam dan tak tahu-menahu perihal senjata api?

Di dalam 1Q84, Murakami seringkali menambahkan deskripsi atau informasi tambahan yang tidak perlu, sehingga paragraf-paragrafnya tidak efektif dan terkesan dipanjang-panjangkan. Kau hanya perlu membaca kalimat pertama atau terakhir dari paragraf Murakami, sebab di sana lah ide pokok paragraf tersebut. Lalu, kau bisa melakukan skimming pada sisanya dan takkan ketinggalan informasi yang signifikan sebab sisanya hanya deskripsi atau keterangan-keterangan pelengkap yang, kalaupun tidak dituliskan, tidak akan terlalu banyak berpengaruh terhadap ide utama atau tujuan paragraf tersebut. Murakami pun, misalnya, kerap mengulang-ulang informasi tentang gaya bicara Fuka-Eri yang bertanya tanpa membubuhkan tanda tanya. Seolah-olah Murakami tak percaya pembaca bisa menangkap karakter Fuka-Eri sejak pertama gadis unik itu diperkenalkan dalam cerita.

Saya hampir kecewa dan menutup 1Q84 ketika memasuki pertengahan Book 1 (1Q84 dibagi menjadi tiga bagian: Book 1, Book 2, dan Book 3), namun saya mencoba untuk bertahan. Usaha saya tak sia-sia. Ketika masuk ke Book 2, cerita 1Q84 semakin seru dan membuat penasaran. Saya terus membalik halaman demi halaman, ingin terus mengetahui apa yang akan terjadi dengan Tengo, Aomame, dan Fuka-Eri. Alur cerita yang tadinya berjalan dengan sangat lambat menjadi semakin cepat dan nilai dramatiknya meninggi. Ketegangan demi ketegangan dimunculkan dengan rapat. Membuat saya menahan napas di banyak bagian.

Saya kira, bagian terbaik dari 1Q84 adalah: semua elemen yang muncul dalam cerita, sekecil apapun itu, terkoneksi satu sama lain. If a gun appears in a story, it has to be fired at some point, kata Anton Chekhov. Murakami betul-betul melaksanakan nasehat ini. Tidak ada satu elemen cerita yang sia-sia dalam 1Q84 (kecuali tentang deskripsi pelengkap yang saya singgung di paragraf sebelumnya). Meskipun pistol yang diberikan Tamaru ke Aomame tidak jadi digunakan, namun elemen-elemen dalam cerita 1Q84 berdiri di atas kalimat Chekhov tersebut sebagai landasannya.

Di buku memoirnya What I Talk About When I Talk About Running, Murakami berkata bahwa maraton adalah olahraga lari yang paling cocok untuk dirinya. Dia tidak cocok dengan lari sprint, karena dia jenis orang yang “lama panasnya”, namun saat sudah panas ia bisa berlari sangat jauh. Kurang-lebih, kesan yang saya tangkap dari 1Q84 sama seperti pribadi Murakami saat ia berlari. Lama panasnya, namun semakin lama semakin baik. Coba untuk bertahan dengan lambatnya alur di bagian pertama, dan nikmati ketegangan demi ketegangan yang mulai bermunculan secara di intens di bagian kedua.

Pada Book 3, Murakami memunculkan penuturan dari sudut pandang tokoh lain. Ushikawa, seorang detektif partikelir yang disewa personel Sakigake untuk mencari Aomame, Tengo, dan hubungan antara keduanya. Sayangnya, lagi-lagi, saya harus menguap cukup lebar di bagian terakhir ini. Murakami tampak sudah ngos-ngosan dan berusaha keras untuk mencapai garis finish dengan target halaman yang telah ditentukan. Ia kembali memanjang-manjangkan cerita dan menuangkan begitu banyak detail yang sebetulnya tak penting-penting amat. Akibatnya, alur cerita jadi lamban dan membosankan. Seperti mi instan yang terlalu lama direbus.

Meski Murakami adalah seorang pelari maraton, namun untuk urusan fiksi saya merasa ia lebih tepat menjadi seorang sprinter. Cerpen-cerpennya menyenangkan, cerdas, padat, dan efektif. Ketika ia menulis novel yang sangat tebal, “Jepang”-nya mulai keluar dan bagi saya itu bukan hal yang membahagiakan. Saya dapat menyelesaikan 1Q84 hanya karena saya penggemar Murakami dan penasaran untuk menantang diri saya sendiri menyelesaikan 1Q84. Kalau kau bukan penggemar Murakami dan tak merasa tertantang untuk menyelesaikan sebuah novel setebal 1.157 halaman, saya bertaruh kau bahkan takkan sampai di seperlima bagian 1Q84. ***



Viewing all articles
Browse latest Browse all 402