Pedro Páramo, Juan Rulfo
Juan Preciado mendapat amanah oleh ibunya yang sekarat untuk menemui ayahnya di sebuah kota bernama Comala. Permintaan itu bukan sekadar permintaan, melainkan sebuah permintaan terakhir menjelang kematian. Maka sebagai anak yang berbakti, dia pergi ke Comala untuk menemui ayahnya. Nama ayahnya itu: Pedro Páramo.
Sesederhana itulah pembukaan novel tipis Pedro Páramo karangan Juan Rulfo. Juan Rulfo adalah seorang penulis asal Meksiko yang tak banyak menerbitkan buku, namun bukunya telah memberi pengaruh besar terhadap penulis-penulis hebat produksi Amerika Latin. Sebutlah beberapa: Carlos Fuentes, Mario Vargas Llosa, dan Gabriel García Márquez.
Telah disebutkan di atas bahwa misi tokoh utama dalam novel ini, Juan Preciado, adalah untuk memenuhi permintaan ibunya, yakni menemui Pedro Páramo, ayahnya. Di mana ayahnya berada? Di kampung halaman Dolores, mendiang ibu Juan Preciado. Kampung halaman itu bernama Comala. Kota yang teramat panas, seperti digambarkan oleh Abundio, seorang pengendara burro yang ditemui Juan Preciado dalam perjalanannya menuju Comala. Abundio berkata, dalam usahanya menggambarkan Comala kepada Juan Preciado yang sedang mengeluh kepanasan: “You might say (Juan Preciado bilang ke Abundio “It’s hot here”). But this is nothing. Try to take it easy. You’ll feel it even more when we get to Comala. That town sits on the coals of the earth, at the very mouth of hell. They say when people from there die and go to hell, they come back for a blanket.”
Penggambaran yang sangat efektif bukan? Terdengar hiperbolik memang perumpamaan yang dipakai oleh Juan Rulfo. Namun efektif. Dan kadang terkesan lucu. “They say when people from there die and go to hell, they come back for a blanket.” Dari kalimat tersebut dapat kita bayangkan bagaimana suhu udara di Comala. Dari kalimat tersebut pula, dapat kita lihat bagaimana kemahiran Juan Rulfo membuat perumpamaan. Perumpamaan-perumpamaan semacam ini akan berhamburan sepanjang cerita. Nanti kau akan temukan mereka satu per satu.
Mari kita lanjutkan perjalanan Juan Preciado. Setelah bergerak dan bergerak bersama Abundio, mereka pun tiba di Comala. Namun, apa yang didapatkan Juan Preciado? Dia mulai curiga dan heran melihat suasana Comala yang sepi dan tampak tak berpenghuni. “I wonder what could have happened to the town? It looks so deserted, abandoned really. In fact, it looks like no one lives here at all.” Abundio menjawab keheranan Juan Preciado. Pada bagian ini, kejutan pertama muncul:
“It doesn’t just look like no one lives here. No one does live here.”
“And Pedro Páramo?”
“Pedro Páramo died years ago.”
Tak terhitung berapa banyak saya mengumpat selama membaca Pedro Páramo. Dan bagian ini membuat saya mengeluarkan umpatan yang pertama. Shit. Pedro Páramo sudah mati? Tujuan hidup karakter utama Pedro Páramo, Juan Rulfo, ternyata sudah mati? Setelah fakta ini muncul, saya mulai curiga sekaligus menyiapkan diri untuk kejutan-kejutan pada bagian-bagian berikutnya. Saya memperoleh perasaan bahwa Juan Rulfo akan mengagetkan saya lagi di halaman-halaman setelah ini.
Oke. Mari kita simpan dulu pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: Apa yang terjadi pada Pedro Páramo? Mengapa dia mati? Mengapa Dolores, ibu Juan Preciado, menyuruhnya untuk menemui seseorang yang sudah mati?
Karena sudah terlanjur datang ke Comala dan penasaran dengan suasana Comala yang sangat sepi, Juan Preciado pun memutuskan untuk tinggal sementara di Comala. Baiklah, Pedro Páramo sudah mati, tapi sepertinya aku ingin berjalan-jalan di kota ini dulu, mencari tahu mengapa ibu menyuruhku ke sini, pikir Juan Preciado. Dan Juan Preciado pun teringat akan perkataan ibunya tentang Comala sebelum dia meninggal: “You will hear me better there. I will be closer to you. You will hear a voice of my memories stronger than the voice of my death – that is, if death ever had a voice.” (shit, lagi!)
Mencari tempat untuk berteduh, Juan Preciado ingat pesan Abundio: temui seseorang bernama Eduviges Dyada. Saat akhirnya bertemu dengan Eduviges Dyada yang adalah seorang perempuan, Juan Preciado terheran-heran, ternyata Eduviges sudah mengetahui bahwa Juan Preciado adalah anak laki-laki Doloritas (Dolores). Siapa Eduviges, kok bisa kenal sama ibuku? Juan Preciado membatin, sembari kaget. Terlebih ibunya tak pernah sama sekali bercerita tentang Eduviges.
Sebelum misteri tentang Pedro Páramo yang ternyata sudah mati itu terjawab, Juan Preciado (sekaligus saya sebagai pembaca) telah dihadapkan pada misteri berikutnya: Siapa Eduviges? Ada hubungan apa dia dengan Dolores, ibu Juan Preciado? Apakah ada kaitannya pula dengan Pedro Páramo? Lagi-lagi, mari kita tinggalkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan itu atau simpan dalam kepala sembari menyimak kejutan yang muncul dari pernyataan yang disampaikan Eduviges tentang Abundio, pengendara burro yang mengantar Juan Preciado ke Comala tadi itu: “The man I’m talking about heard fine,” kata Juan Preciado, saat mendengar Eduviges mendeskripsikan Abundio sebagai laki-laki yang tunarungu. Lalu keluarlah kalimat yang mengejutkan: “Then it can’t have been him. Besides, Abundio died. I’m sure he’s dead. So you see? It couldn’t have been him.”
Apa? Setelah Pedro Páramo ternyata telah mati, kini Abundio, orang yang bercakap-cakap dengan Juan Preciado dalam perjalanan mereka ke Comala tadi itu pun ternyata sudah mati? Lalu siapa orang yang Juan Preciado ajak bicara tadi? Hantu Abundio?
Baiklah. Baiklah. Bukankah tadi saya sudah mengantisipasi hal-hal seperti ini? Tapi tetap saja saya tidak menyangka ini akan muncul. Abundio sudah mati? Oke. Oke. Tapi Eduviges yang sedang berbincang-bincang dengan Juan Preciado ini masih hidup kan? Atau, ternyata dia juga hantu?
Yak. Betul. Ternyata Eduviges Dyada juga adalah hantu. Kau akan menemukan fakta demikian pada halaman-halaman berikutnya dari Pedro Páramo. Tetap, saya tidak menduga bahwa Eduviges Dyada adalah hantu, hanya roh. Seperti halnya Abundio. Dan setelah menemukan fakta bahwa dua orang yang berbicara dengan Juan Preciado, Abundio dan Eduviges, adalah roh gentayangan, saya mulai curiga terhadap seisi kota Comala. Dan benarlah kecurigaan saya. Damiana Cisneros, perempuan yang Juan Preciado temui setelah Eduviges, ternyata juga hanyalah roh. Dia tidak nyata, setidaknya pada kehidupan Juan Preciado. Abundio, Eduviges, Damiana, dan semua warga Comala yang sempat Juan Preciado lihat baik dalam waktu yang cukup lama maupun hanya sekelebatan, semuanya adalah roh gentayangan.
Comala adalah kota hantu.
Cerita tidak berhenti sampai di situ. Kita belum menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Siapa Pedro Páramo sesungguhnya? Apa yang terjadi dengannya? Apa pula yang terjadi dengan Comala, kota yang penuh roh gentayangan ini? Mengapa roh warga Comala masih gentayangan? Bagaimana keadaan kota Comala pada dahulu kala?
Di sini lah misteri mulai membuka dirinya satu per satu.
Dunia dalam cerita Pedro Páramo terbagi menjadi dua: dunia sekarang, dimana Juan Preciado hidup dan menjalankan misinya mencari tahu tentang ayahnya, Pedro Páramo yang telah mati; dan dunia masa lalu dimana Pedro Páramo masih hidup. Lewat teknik maju dan mundur, menggunakan sudut pandang ganda (orang ketiga untuk bagian Juan Preciado dan orang pertama untuk bagian Pedro Páramo), Juan Rulfo membuka misteri masa lalu kota Comala dan Pedro Páramo sendiri.
Pada alur waktu Juan Preciado, ingatan-ingatan masa lalu kota Comala muncul dalam wujud roh, suara-suara, dan mimpi-mimpi. Lewat suara-suara samar yang menempel di dinding-dinding rumah kosong dan bisikan-bisikan yang mengambang, merambat di kesunyian udara kota Comala, Juan Preciado sedikit demi sedikit mengetahui tentang sosok Pedro Páramo dan apa sebenarnya yang terjadi dengan kota berhantu bernama Comala ini.
Misteri demi misteri yang terungkap kemudian membuat kita (saya) sadar, bahwa adegan pembuka Pedro Páramo yang tampak sederhana tadi, ternyata hanyalah gerbang untuk memasuki sebuah cerita yang sama sekali tidak sederhana.
Sekilas, alur Pedro Páramo terasa membuat goyah sebab perpindahan dari masa kini ke masa lalu ke masa kini terjadi begitu saja. Kau harus membacanya dengan cermat dan mengikuti adegan demi adegannya secara perlahan dan hati-hati. Kalau perlu mencatatnya. Itulah yang saya lakukan. Bahkan saya mencatat nama-nama tokoh yang muncul di Pedro Páramo, saking banyaknya. Setidaknya ada 20 orang yang menjadi tokoh dalam Pedro Páramo dan saya harus memperhatikan kemunculan 20 orang itu dan menyimak apa peran mereka dalam cerita agar saya tidak kehilangan jejak.
Membaca Pedro Páramo, kau akan dibanjiri dengan dialog-dialog bermutu dan sangat filosofis. Seperti kalimat yang diucapkan oleh Dorotea kepada Juan Preciado: “After so many years of never lifting up my head, I forgot about the sky. And even if I had looked up, what good would it have done? The sky is so high, and my eyes so clouded that I was happy just knowing where the ground was.” Atau ucapan Damiana Cisneros: “Every sigh is like a drop of your life being swallowed up”. Dan masih banyak lagi.
Kekaguman saya bertambah saat menyimak bagaimana cara Juan Rulfo mendeskripsikan sebuah suasana atau penampakan seseorang. Ketika membaca deskripsi-deskripsi dalam Pedro Páramo, saya dihadapkan pada teknik deskripsi dan pemilihan kata kelas atas.
Now here I was in this hushed town. I could hear my footsteps on the cobbled paving stones. Hollow footsteps, echoing against walls stained red by the setting sun.
Contoh lain, saat Juan Rulfo mendeskripsikan seorang perempuan yang dilihat oleh Juan Preciado:
I took note that her voice had human overtones, that her mouth was filled with teeth and a tongue that worked as she spoke, and that her eyes were the eyes of people who inhabit the earth.
Saya lupa siapa, pernah bilang begini: tak ada (dan tak perlu, atau mungkin takkan pernah bisa) seorang penulis membuat sebuah buku yang semua halamannya adalah masterpiece. Dari 300 halaman novel yang kita baca, mungkin hanya empat atau lima halaman saja yang memorable, sisanya hanya pengantar dan pelengkap plot. Namun, saya katakan kepadamu dengan tegas, tidak demikian adanya Pedro Páramo. Semua, saya ulang, semua halaman Pedro Páramo adalah masterpiece. Sangat terlihat bahwa Juan Rulfo betul-betul memikirkan isi setiap halaman, paragraf, kalimat, bahkan kata per kata yang akan dia tulis dalam bukunya. Juan Rulfo begitu efektif dalam menggunakan kata. Tidak ada kata yang sia-sia. Satu pun tidak ada. Jika saya diminta untuk menuliskan bagian terbaik atau kalimat terbaik dari Pedro Páramo, maka saya akan bilang begini: “Beri saya waktu. Sebab saya harus menulis ulang seluruh isinya.”
***