Merantau, Belajar Membaca Karya-Karya Sastra Luar
Saya tidak tahu, berapa jumlah buku puisi, kumpulan cerpen, atau novel karya pengarang Indonesia yang saya baca hingga saat ini. Saya tidak tahu apakah dari seluruh buku karya pengarang Indonesia yang saya baca, saya berhak untuk mengatakan hal ini: bahwa saya tidak lagi menemukan hal-hal yang baru dari buku-buku tersebut. Perasaan seperti itu bisa jadi muncul karena saya belum membaca cukup banyak. Tapi, setidaknya, sejauh pengalaman saya membaca karya-karya pengarang Indonesia, semakin lama semakin sering saya dihinggapi perasaan semacam itu. Perasaan tak menemukan hal yang baru. Kian hari membaca buku-buku karya pengarang Indonesia, kian jelas terlihat pengulangan-pengulangan tema, cara bertutur, plot, bahkan sudut pandang (mungkin termasuk buku yang saya tulis sendiri, sebagai akibat dari buku-buku yang saya baca tersebut). Saya ulang kembali, sangat mungkin perasaan saya ini muncul secara sembrono sebab saya belum membaca seluruh karya-karya pengarang Indonesia.
Pada suatu malam di Yogyakarta, saya bertemu dengan Okky Madasari (penulis novel Entrok, 86, Maryam, dan Pasung Jiwa-Maryam meraih KLA 2012). Saya bertanya, buku-buku apa yang dia baca. Saya selalu ingin tahu buku-buku apa yang dibaca oleh penulis yang bagus (saya mengasumsikan Okky adalah penulis yang bagus sebab bukunya menang anugerah sastra). Okky menjawab, dia belajar dengan menyusuri “jalan pintas”. Jalan pintas yang dia maksud adalah, membaca langsung karya-karya yang sudah “terjamin” bagus, misalnya adalah: karya-karya pemenang Nobel Sastra.
Tak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya untuk belajar menulis dengan membaca buku-buku pemenang anugerah sastra. Saya membaca buku-buku pengarang Indonesia yang masuk nominasi KLA, namun saya membacanya sebelum mereka masuk nominasi KLA. Waktu itu saya belum berminat untuk mencari tahu tentang anugerah sastra di luar Indonesia. Saya sering mendengar beberapa, seperti Pulitzer Prize, Man Booker Prize, dan Nobel Prize for literature alias Nobel Sastra. Namun saya belum terpikirkan untuk membaca buku-buku para pemenang anugerah sastra luar negeri tersebut.
Perasaan sembrono akan kebosanan tak menemukan hal-hal baru lagi dalam buku-buku pengarang Indonesia dan percakapan dengan Okky memunculkan dan memperkuat minat saya untuk mulai belajar membaca buku-buku sastra luar. Saya memulainya dengan menelusuri karya-karya pemenang Nobel Sastra, sejak 1901-2013. Dengan cara yang sederhana (mencatat nama-nama pemenang nobel sastra dari web-nya, googling nama mereka dan mencatat buku-buku yang mereka terbitkan) saya menyusun sebuah daftar panjang buku-buku yang ditulis oleh para peraih Nobel Sastra tersebut. Dan saya pun memulai pencarian buku-buku dalam daftar itu.
Keinginan saya itu seperti direstui oleh semesta. Tiba-tiba muncul sebuah toko buku impor bekas di Yogyakarta yang koleksinya sangat bagus. Saya menemukan beberapa buku dalam daftar yang saya buat. Semuanya berbahasa Inggris, tentu saja. Saya tidak tahu apakah saya mampu menyelesaikan membacanya. Yang saya tahu, saya ingin mulai belajar membaca buku-buku pengarang luar.
Buku pertama yang saya selesaikan adalah The Thief and The Dogs, karangan Naguib Mahfouz. Dia pengarang asal Mesir dan peraih Nobel Sastra tahun 1988. Meskipun bukunya yang saya baca berbahasa Inggris, saya nyaris tak tersendat-sendat membacanya. Mungkin karena Mahfouz menulis dengan baik dan tidak menggunakan kata-kata yang asing di kepala saya. Tapi, poin penting yang saya dapat setelah membaca The Thief and The Dogs adalah, betapa berbedanya cara bertutur, gaya narasi, dialog, dan plot yang dibangun Mahfouz dari kebanyakan buku-buku pengarang Indonesia yang saya baca. Tentu saja antar-pengarang Indonesia pun terdapat perbedaan-perbedaan tersebut, namun yang saya maksud adalah, saat saya membaca The Thief and The Dogs, saya betul-betul seperti masuk ke dunia yang baru, betul-betul baru, dunia yang belum pernah saya lihat dan saya duga, dan itu menyenangkan (semoga kamu menangkap maksud saya).
Lalu saya melanjutkan membaca Pedro Páramo karangan Juan Rulfo. Dia bukan pemenang Nobel Sastra. Saya memasukkan Pedro Páramo ke dalam daftar buku yang saya cari setelah membaca tweet A. S. Laksana yang menyebut bahwa buku tersebut adalah “novel tipis yang kampret sekali” (saya tahu arti “kampret” di sini adalah “bagus”). Lagi-lagi, saya seperti ditarik keluar dari dunia Mahfouz tadi, kemudian masuk ke dunia lain yang juga baru, betul-betul baru, betul-betul berbeda.
Pengetahuan-pengetahuan baru tentang teknik menulis yang saya dapat setelah membaca The Thief and The Dogs dan Pedro Páramo membuat saya semakin bernapsu untuk membaca karya-karya sastra luar yang lain. Buku-buku berikutnya yang saya baca adalah Life & Times of Michael K karangan J. M. Coetzee, Love in the Time of Cholera karangan Gabriel García Márquez (dan buku-buku dia yang lain, saya mencintainya!), Norwegian Wood karangan Haruki Murakami. Ketiganya terjemahan Indonesia. Saat ini, saya sedang membaca Dance of the Happy Shades, kumpulan cerpen Alice Munro, peraih Nobel Sastra tahun 2013.
Sudut pandang, plot, tema, dan teknik bertutur (pada dasarnya, seluruh elemen dasar fiksi!) yang baru saya temukan pada karya-karya sastra luar, membuat saya merasa bahwa saya harus membaca lebih banyak lagi karya-karya tersebut. Lagi-lagi, bukan semata-mata karena saya betul-betul tidak menemukan hal baru dalam karya-karya sastra Indonesia, tetapi mungkin lebih kepada pemahaman bahwa dunia ini begitu luas. Untuk memiliki pengetahuan yang luas pula, maka saya harus menjelajahi dunia yang luas itu. Saya harus keluar dari kampung halaman, merantau ke pulau lain, untuk mendapatkan hal-hal baru. Logika yang sederhana saja sebetulnya.
***